Menjelang magrib, Avanza B 2605 SIE yang dikemudikan Basir Salatalohy dari Ternate, memasuki pekarangan rumahnya. Rumah berlantai 2 dan bercat ungu di Jalan Ahmad Yani, pas berhadapan dengan masjid Kelurahan Tuguwaji, sekaligus sebagai tempat foto copy, ‘Basrah Copy’.
Na, istri Basir Salatalohy menyiapkan pisang goreng dua piring dan teh panas di gelas besar. Saya minta tambah teh satu gelas lagi, termasuk segelas air hangat.
Kali kedua kedatangan ke kota kepulauan yang pernah dipimpin penjabat bupati, saat status berubah dari daerah administratif Halmahera Tengah menjadi Kabupaten Halmahera Tengah sekitaran tahun 1990-an, Idrus Tukang (kini Alm)– warga Negeri Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua, Maluku Tengah ini boleh dibilang berkesan. Karena, saya sempat melihat berbagai destinasi wisata menakjubkan, termasuk wisata religi, dan agrowisata.
Mulai dari pantai Ake Sahu, Wisata Pulau Failonga, museum Kesultanan Tidore Sonyine Malige. Ada pula benteng Tahua dan tugu pendaratan “Sebastiano De Elaco”. Termasuk wisata spiritual di Kelurahan Gurabunga dan sejumlah Makam para Aulia yang muncul dengan sendirinya– JERE.
Di kediaman Basir Salatalohy—ponaan pertama dari kakak ketiga saya—Hj.Maryam Pattisahusiwa, saya penasaran melihat gunung yang menjulang di depan mata. Kie Matubu. Gunung tertinggi di Maluku Utara (1.730 meter) ini, juga disebut sebut kembar dengan gunung Gamalama di Ternate.
Saya tertarik ke Gunung Kie Matubu yang selalu diselimuti kabut ini. Betapa tidak, pada kedatangan pertama—saat proses pelamaran Sari Salatalohy ponaan yang juga adik bungsu dari Basir tujuh tahunan lalu, saya berjanji suatu hari kelak bisa menginjakkan kaki di gunung ini.
Basir, saya ajak mendaki. Namun, sarjana teknik perkapalan Universitas Pattimura Ambon itu memilih menggunakan roda dua miliknya. Saya mengiyakan. Sekalipun menggunakan motor gede, namun saya yang berada dibelakang, sesekali ngeri melihat jalanan yang terus mendaki. Beberapa kali syahadatan saya hantarkan. Sebab, sekalipun jalanan terus meninggi, namun Ba sapaan akrab alumni SMAN 1 Ambon itu tetap saja tancap gas.
Tiba di Kantor Kelurahan Gurabunga, saya meminta Ba istirahat sebentar. Kelurahan di ketinggian 713 meter ini mengandung arti, sebagai kebun bunga. Wajar saja, ketika berada di Gurabunga ini akan disambut deretan bunga warna warni di pinggir jalanan. Susunan rumah penduduk tertata dengan bunga-bunga yang indah dan beraneka ragam warna. Baunya harum. Saya sempat memotret anak-anak muda main bola.
Lima menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Jalanan tetap saja meninggi, hingga tiba di Dusun Ngosi. Kami mengambil belokan ke kiri. Di sini, ada masjid dan sejumlah rumah. Kami berhenti sejenak. Kamera Nikon D710 saya gunakan memotret beberapa kali. Di dusun ini, saya leluasa melihat Kota Tidore. Indah. Saya menuju bebatuan hitam di pinggiran, seraya mengarahkan kamera ke berbagai spot.
Dari kejauhan terlihat lautan yang tenang. Membiru. Terlihat pula pulau Filonga. Pulau kecil tak berpenghuni. Pulau ini memiliki keanekaragaman hayati. Berpasir putih, berkilau jika terkena sinar matahari. Airnya yang dangkal, menambah eksotisme.
Berada di dusun ini, mata disuguhi keelokan pemandangan laut Maluku Utara dengan pulau-pulau di sekitarnya. Indah dan memanjakan mata. Saya sempat berselfie dengan Oppo.
Ngosi bukanlah puncak Kie Matubu. Mungkin hanya setengahnya. Tetapi, jika berada di puncak gunung ini, anda dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam di satu titik. Pemandangan istimewa ini menjadi magnet yang cukup kuat untuk mengundang orang mencapai puncak.
Saya menikmati betul keasrian alam. Sejuk dan bersih. Pepohonan yang berjejeran di atas bukit dan punggung gunung begitu subur. Di tebing-tebing, terlihat kebun warga berisi tanaman pala, durian, cengkih, pinang, hingga tamanan holtikultura (sayuran) lainnya, sekaligus menjadi tanaman primadona. Dan, yang paling penting, sekalipun kebun-kebun warga itu terletak pada kontur bumi amat terjal, tetapi petani di sini tidak takut. Mereka sudah terbiasa di lereng.
Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Lada Ake. Jika cerah, maka nampaklah pulau Maitara dan Kota Ternate. Hanya saja karena matahari mulai mengarah ke perut bumi, makanya saya yang hendak mengambil spot Ternate dan Maitara, tidak begitu jelas. Kami pun kembali ke rumah untuk kembali menikmati teh panas buatan Na yang tak lain anak menantu saya. Destinasi lain di Tidore akan disajikan pada narasi lain. (Catatan perjalanan ke Maluku Utara, 4-din pattisahusiwa)