INSPIRASI-MAKASSAR.COM – MAKASSAR – Bagi sebagian orang, saat purnabakti atau pensiun diantaranya mengalami ‘post power syndrome’. Sementara lainnya malah bahagia. Mengapa? Ya, karena disaat kerja, mereka menyisihkan waktu dengan berbagai aktivitas yang produktif. Lucas Layuk salah satunya. Pensiunan PNS DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) ini meraup puluhan juta rupiah dari ikan lele di pekarangan rumahnya, Jalan Adyaksa Baru Makassar.
Setelah 30 tahun mengabdikan diri di bagian Humas DPRD Sulsel, Lucas Layuk pensiun tahun 2010. Mulai saat itu, dia lebih berpokus pada pengembangan bisnis ikan lele yang telah ditekuni lima tahun sebelumnya.
Alasan memilih ikan lele, karena pasar Indonesia, termasuk lokal Sulawesi Selatan, jenis ikan yang hidup di air tawar ini tergolong besar. Produksinya meningkat tajam, khususnya lima tahun terakhir. Disisi lain, lele berdaging lunak, sedikit bertulang, tidak berduri, dan murah, sehingga sangat disukai konsumen. Jika dibakar atau digoreng, ikan bernama ilmiah Clarias ini, rasanya lezat dan enak. Inilah yang meng-INSPIRASI ayah tiga orang anak dan seorang cucu ini membudidayakannya.
“Bahkan, saat ini telah berkembang banyak panganan yang terbuat dari ikan lele. Misalnya, abon lele, pecel lele, keripik lele, serta beragam panganan lain. Sedangkan dari segi budidaya, relatif tidak memerlukan banyak perawatan, apalagi masa tunggu panen hanya 3,5 bulan,” jelasnya kepada Inspirasi Makassar, pertengahan Desember 2014.
Awalnya, Lucas menguji coba budidaya pada satu kolam yang berisi 500 lele. “Ketika mempelajari seluk beluk pengembangan lele hanya pada satu kolam kecil untuk konsumsi keluarga. Tetapi, saat produksinya sesuai target, maka saat itu saya berjanji jika pensiun akan mengembangkannya sebagai bisnis,” ujarnya.
Lima tahun sebelum pensiun, suami dari Yohana Kananlua’ ini mulai nyambi. Fotografer sekaligus merancang dan mendalami seluk beluk budidaya jenis ikan bertubuh licin memanjang, tak bersisik, serta “berkumis” ini. Dia juga menyiapkan beberapa kolam pembesaran ikan lele mulai dari ukuran 3×6 meter, 6×6 meter, 4×8 meter, hingga 12×17 meter, dan dua kolam pembibitan ukuran 3×3 meter di pekarangan rumahnya. Kolam-kolam tersebut persis di sebelah kiri. Sedangkan satu kolam lainnya, di bagian kanan.
Saat pensiun, Lucas malah senang. Karena, memiliki banyak waktu untuk mencurahkan perhatiannya membudidayakan lele sebagai bisnis. Sekalipun demikian, dia enggan merinci omset sekali panen. Pria kelahiran Desa Kappuan’ Kecamatan Mappak, Toraja, 9 Maret 1956 ini hanya mengakui beberapa kolam pembesaran diisi dengan 10.000 ikan lele.
“Kepada pelanggan saya tidak memasang harga maksimal. Perkilo yang terdiri dari dua hingga tiga ekor lele harganya Rp15 ribu. Para pedagang pedagang pengumpul maupun eceran sudah memesan, kemudian menjual ke restoran-restoran di Kota Makassar, hingga Toraja dan Mamasa,” urai pensiunan golongan III C ini.
Untuk mendapatkan produksi lele yang diinginkan, Lucas memulainya dengan beberapa langkah. Misalnya, memilih bibit ditempat penjualan terpercaya dan bibitnya asli, juga kolam yang tidak harus banyak dan beragam, cukup 4 buah kolam. Jangan sekaligus menyebarkan bibit ke kolam, tetapi sedikit demi sedikit, sehingga mampu berkembang dengan baik dan tidak stres. Bibit tersebut disebarkan secara bertahap dengan cara mengambil satu gayung lele, taruh pelan-pelan.
Langkah lainnya, memberikan pakan dengan pelet atau makanan khusus pagi dan sore. Jika ikan sudah dewasa, bisa dikembang-biakkan untuk bibit baru. Caranya, ikan lele indukan jantan dan betina, ambil sperma dan ovumnya. Terapkan pemijahan antara sel telur dan sperma di dalam kolam khusus atau disebut kolam pemijahan.
Kisah sukses Lucas Layuk dilalui dengan “keringat” sejak SD di kampung halamannya. Saat itu, sulung dari enam bersaudara pasangan Bunga’ dan Liku (alm) ini mulai terjun didunia pertanian. Duduk dikelas 5 SD, dia mulai menanam sayuran, kopi, dan ubi kayu di kebun. Hasil panen dijualnya sendiri, termasuk barter dengan hewan.
Tamat SD tahun 1970-an, Lucas yang digelari “helikopter” oleh rekan-rekannya di gedung wakil rakyat, Jalan Urif Sumohardjo itu melanjutkan ke SMP Maharaja di Makassar. Untuk memenuhi hidup dan membayar SPP, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tugas utamanya mencuci pakaian. Dia juga pernah merasakan sakitnya bekerja sebagai tukang batu saat pembuatan Jalan Veteran. Pernah juga menjaga toko, kerja di bengkel kursi, mengeruk rotan dengan upah Rp50/kg. Kerja sebagai loper koran, wartawan, hingga karyawan hotel.
“Pemilik toko pernah melarang saya bersekolah. Alasannya, sekalipun dia tidak sekolah, namun kaya. Sekalipun demikian, saya selalu mensiasatinya untuk tetap sekolah,” tuturnya seraya mengakui sekalipun mengalami masa sulit, namun dirinya tetap bersyukur kepada Allah, bahwa apa yang dia peroleh betul-betul terasa bernikmat.
Tahun 1981, dia lolos sebagai PNS di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Saat bersamaan, dia juga lolos di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di PT Inco. “Tetapi saya memilih PNS di kantor gubernur”. Saat diterima sebagai PNS, Lucas memilih kuliah di UVRI. Hanya saja, setelah menikah tahun 1983 dan duduk di semester VI, memilih mundur.
“Saya berpikiran kalau lanjut kuliah, tentunya adik-adik saya tidak bisa sekolah. Saya kemudian berkata, lebih baik bekerja untuk mendapatkan uang. Sebagian gaji untuk keluarga, sebagian lagi diperuntukan membantu biaya sekolah adik-adik saya. Untung saja, istri turut mendukung,” tuturnya. (din/mim)