Minggu, 25 September, sekitar pukul 10.00 WITA, saya kepingin dipijat. Ama—istri pun membantu memberi alamat si tukang pijat yang bagus. Tak tanggung-tanggung, yang disiapkan Ama adalah perempuan asal Jawa. “Alamatnya dekat terminat pasar Daya, kata Ama.
Saya pun mengikuti sarannya. Ke Daya. Sekitar 100 meter dari belokan ke pasar terminal Daya, saya bertanya kepada seorang lelaki. “Tabe Daeng, kalau tukang pijat yang orang Jawa dimana tempat tingalnya? Menjawab pertanyaan saya, si penagih karcis angkutan kota (angkot) itu langsung menunjuk alamatnya. “Belok ke kiri. Kemudian kiri lagi,” ujarnya.
Setelah mengikuti arahan lelaki gemuk, sekitar 20 meteran, saya melihat papan nama pas di salah satu Ruko sebelah kanan. Di papan itu tertulis “Pijat Refleksi Kesehatan untuk Perempuan dan Pria”. Saya terdiam sejenak. Dalam hati kecil saya berkata, bukan ini!
Karena kurang yakin, saya sengaja melewatinya. Kendaraan diparkir di lima Ruko yang sederatan. Di halaman Ruko terparkir sejumlah kendaraan. Saya telepon Ama menanyakan kepastian alamat. Diapun balik menelepon seorang keluarga yang pernah menggunakan jasa tukang pijat tersebut. Hanya saja, telepon seluler yang dituju tidak terangkat.
Beberapa menit kemudian, saya memberanikan diri masuk. Sebelumnya, seorang perempuan muda keluar. Dia tersenyum manis. Di ruangan depan, sebelah kanan, seorang lelaki berambut panjang duduk di belakang meja. Saya memberi salam. Dia menjawab, tapi dengan suara pelan. Saya duduk dikursi berhadapan dengan lelaki itu. “Pak, saya mau dipijat”! Hati
saya terketuk, saat melihat sejumlah foto wanita cantik diatas meja beralas kaca bening. Saya pun teringat beberapa tahun silam, saat bersama teman-teman usai melakukan tugas jurnalistik didaerah. Kami ke sejumlah pusat refleksi, untuk melepas lelah. Asyik.
“Saya mau orang Jawa pak”. Lelaki setengah baya itu meminta saya memilih salah satu foto. Tetapi, setelah saya menanyakan harga, dia bilang Rp75.000 per jam. “Yang saya mau Rp200.000,” jawab saya. Lelaki itu bilang oh disini tidak ada yang Rp200.000. Saya bilang, kalau begitu saya salah alamat. Saya pun pamit. Di sela-sela pamitan itu, seorang perempuan sengaja memperlihatkan dirinya. Dia berpakaian yukensi dipadu celana jens. Dia tersenyum melirik saya. Menarik. Terlihat tali bra warna merah melilit bahunya. Tapi saya tidak terpengaruh.
Saya pun kembali ke penagih karcis tadi. Saya bilang bukan pijat refleksi yang saya cari, melainkan tukang pijat orang Jawa. Dia pun memberi petunjuk ke arah masjid. Saya mengikuti untuk kedua kalinya. Ternyata benar. Sekitar 200 meteran saya bertanya kepada seorang perempuan. Dia menunjuk rumah orang yang saya cari. “Itu rumahnya pas di mobil putih,’ ujarnya.
Saya tidak langsung masuk. Sebab, tidak melihat orang dalam rumah bertingkat itu. Saat mendengar suara pengajian di masjid sebagai tanda shalat duhur, saya pun bergegas ke masjid yang bersebelahan lorong. Babut’taubah, nama masjid yang tanah dan bangunannya adalah wakaf seseorang. Usai shalat duhur, saya memberanikan diri masuk ke rumah di tukang pijat. Dia bertanya maksud kedatangan saya. Saya bilang, mau dipijat. Perempuan berkulit putih berambut pirang itu menyuruh masuk.
Ternyata didalam ruangan besar sudah ada seorang lelaki bertelanjang dada. Lelaki asal Toraja itu baru selesai dipijat. Perempuan Jawa itu bilang, dia istirahat sebentar. “Oke,” jawab saya. Setengah jam kemudian giliran saya. Pijatannya enak. Sekalipun demikian, sesekali saya menahan nafas. Usai memijat, saya merasa nyaman. Dan, kepadanya, saya berjanji kembali lagi, Selasa, 27 September. (din)