Perempuan yang satu ini gencar memperjuangkan hak-hak kaumnya di kampung halaman suaminya. Tana Toraja. Melalui organisasi rintisannya, Suara Ibu Peduli, perempuan yang belasan tahun berkecimpung didunia aktivis ini, mampu menghadirkan produksi kain berkualitas. Hingga tahun 2008 dia memutuskan pensiun dan ingin menikmati hari tuanya di daerah wisata itu. Dinny Jusuf adalah orangnya.
Hendak bersantai di kampung halaman sang suami, Dinny Jusuf menemukan banyak tenun Toraja yang terbengkalai. Utamanya di daerah Sa’dan. Tenunan ini tidak laku. Orang Toraja pun terkesan enggan memakai baju dari jenis kain ini. Bahkan, mereka tidak lagi tertarik menenun, lantaran penghasilan dari usaha ini tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Masalah inilah membuat hati perempuan kelahiran 17 April 1956 ini terenyuh. Jiwa sosial yang sudah terasah, membuatnya tidak tinggal diam melihat penenun Toraja yang kurang meraih kesejahteraannya. Tahun 2010, Dinny membulatkan tekad membangun usaha tenun kain Toraja. Namanya, Toraja Melo. Nama ini memiliki arti, Toraja yang indah. Lewat Toraja Melo itu pula, Dinny menampung kain tenun para perajin dan membuatnya menjadi produk fesyen berkelas dan bernilai jual tinggi.
Mulai saat itu, Dinny meyakini diri menghidupkan kembali seni dan budaya tenun di kabupaten penghasil kopi ini. Diapun mencoba bertukar pikiran dengan Obin, perancang busana ternama, sekaligus pemilik Rumah Kain Indonesia. Kerjasama lainnya dengan Nina Jusuf, adiknya. Nina sendiri adalah lulusan Fine Art in Fashion Design dari Academy of Art University di San Francisco. Dari tangan sang adik inilah mendesain pakaian yang menonjolkan karakter kain tenun Toraja yang feminin, sekaligus maskulin.
Dinny juga menggandeng ibu-ibu rumah tangga dari Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di Jakarta untuk menjahit. Kain Toraja pun disulap menjadi produk fashion. Produk yang dihasilkan mulai dari tas, gaun, sepatu hingga sandal yang modelnya mengikuti tren terkini.
Pendekatan kepada penenun setempat tidak mudah. Rencana besarnya ini sempat dianggap mengada-ada warga sekitar. Sekalipun demikian, tidak menjadikannya patah semangat. Hasil tenun dibeli, apapun kualitasnya. Termasuk mengadakan pelatihan menenun skala kecil, secara berkesinambungan.
Dalam waktu enam bulan, berbekal promosi dari mulut ke mulut, produknya bisa terjual hingga 100 potong. Pemasarannya baru kepada teman-teman maupun koleganya. Permintaan makin berdatangan. Produk yang dihasilkan pun makin beragam, mulai dari tas, sepatu baju dan berbagai aksesoris dari kain tenun Toraja.
Produk Toraja Melo ini dihargai mulai Rp 50.000 untuk produk dompet tempat koin berukuran kecil. Sedangkan tas harganya Rp 1,5 juta. Harga paling tinggi Rp Rp3 jutaan permeter. Mengapa mahal? Karena bahan baku benang diimpor dari China. Bahan baku impor seperti benang yang datang dari luar negeri masuk lewat beberapa kota di Pulau Jawa. Lantas dibawa ke Makassar dengan kapal. Setelah itu dibawa dengan truk ke Toraja dan mulai disebar ke daerah-daerah. Biasanya sekitar 10 hari.
Kini, Dinny memiliki 125 penenun yang diberdayakan untuk memasok bahan baku kain. Penghasilan para perajin lewat binaannya bisa mencapai Rp 2 juta – Rp 3 juta per bulan. Ini jauh lebih besar dari penghasilan sebelumnya.
Banyaknya kesulitan yang dihadapi dalam proses menyelamatkan kain tenun Toraja dari kepunahan tidak membuatnya kecil hati. Ia sadar betul bahwa Toraja Melo tidak hanya sekadar berjualan tas dan produk fesyen lainnya, juga bagaimana membuat kehidupan para penenun di Toraja lebih baik.
Meski tidak mau berterus terang mengenai omzet. Namun kesuksesan usahanya bisa dilihat dari pemasaran Toraja Melo yang tidak hanya diterima di Indonesia, khususnya yang dijual di galeri butiknya di Kemang, Jakarta Selatan. Dinny juga menjajakan produk Torajamelo lewat situs 222torajamelo.com guna memudahkan konsumen.
Butik dijadikan tempat memperbanyak dan menguatkan komunitas guna melestarikan tenun Toraja. Nanti akan ada acara rutin di butik seperti kumpul bersama untuk edukasi, sekaligus meningkatkan kepedulian mengenai tenun Toraja. Selain pasar dalam negeri, Dinny juga mampu menembus pasar mancanegara. Untuk itu, dia terus mencoba belajar strategi pemasaran di luar negeri. Misalnya, Jepang, Amerika Serikat, hingga Eropa. Juga pernah ikut pameran kerajinan di Las Vegas.
Meski punya standardisasi dari sisi kualitas, agar para penenun tidak putus asa, apapun hasil yang tenunan mereka tetap akan diambil. Namun, ketika proses membuat produk fashion, kain tersebut tetap harus melalui proses penyaringan sesuai standar kualitas Toraja Melo.(konol-din)