Pekerjaan saya yang pertama setelah diangkat sebagai Kepala Bagian Humas Universitas Cokroaminoto Makassar (UCM) 25 Juni 2021 adalah memberikan somasi atau teguran atas pemberitaan mengenai Yayasan yang menaungi UCM dan kasus pengangkatan Rektor UCM yang dinilai cacat hukum.
Petinggi kampus meminta saya melakukan hak jawab, tetapi saya jelaskan, hak jawab bisa diberikan jika pihak kampus pernah dikonfirmasi mengenai pemberitaan itu kemudian terdapat data atau informasi yang tidak tepat ditulis oleh media tersebut yang perlu diluruskan.
Ini namanya hak jawab dan ditempatkan pada posisi berita yang terkait itu dimuat. Namun kalau di media daring, tentu saja berbeda dengan media cetak yang ada halaman dan kolomnya. Jadi, memang perlu ada pemahaman yang jelas tentang hak jawab ini agar tidak seenaknya media memberitakan sesuatu tanpa konfirmasi dan menyerahkan yang terkena berita itu menyanggah. Konteksnya tidak seperti itu.
Pada dua kali pemberitaan yang dilakukan media daring tersebut, sama sekali tidak melakukan konfirmasi kepada UCM. Di sini berlaku pelanggaran terhadap ketentuan verifikasi dan keberimbangan berita sesuai ketentuan Dewan Pers untuk media siber. Pada butir (a) di katakan, pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi. (b) Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
Kelalaian melakukan konfirmasi jelas melanggar sejumlah pasal Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal 1 disebutkan, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.
Pasal 2. “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.
Pasal 3. “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Pasal 4. “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”
Pasal 10. “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.
Jadi apa yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik tersebut sudah sangat jelas. Hanya memang banyak wartawan tidak membaca Kode Etik Jurnalistik atau pura-pura tidak membaca Kode Etik Jurnalistik. Cerita wartawan tidak pernah membaca Kode Etik Jurnalistik bukan hanya baru sekarang, melainkan sejak tahun 1970-an. Penyebabnya wartawan kita hanya sedikit yang suka membaca, khususnya tentang rambu-rambu yang tidak boleh dia lakukan dalam melaksanakan profesinya.
Ketika banyak wartawan yang gagal paham terhadap aturan main profesinya sendiri itu lebih banyak disebabkan oleh ketidaksiapan seseorang memasuki dunia kewartawanan. Mereka memasuki profesi ini dengan bekal pengetahuan yang pas-pasan, untuk tidak mengatakan pengerahuannya nol besar. Mereka memasuki profesi ini secara instan.
Kalau melihat masih ada wartawan yang membuat berita tanpa melakukan konfirmasi jelas telah melanggar salah sendi utama kesucian profesi ini yang menempatkan tiga pilar utama, yakni wawasan/pengetahuan, keterampilan, dan etika, norma, dan moral. Pekerjaan wartawan menuntut ditegakkannya moral sang jurnalis dalam melaksanakan profesinya. Penyimpangan terhadap pilar etika, norma, atau moral ini dapat ditakar dari penaatan mereka terhadap penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya.
Pada pasal 11 disebutkan “Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional”. Hak jawab ini terjadi apabila pihak yang merasa dirugikan telah memberikan keterangan, tetapi karena satu dan lain hal dia tidak puas dengan pemberitaan mengenai penjelasannya (karena mungkin diplintir oleh wartawan),maka di sinilah berlaku hak jawab tersebut. Media berhak melayaninya. Tetapi jika seorang wartawan tidak melakukan konfirmasi demi keberimbangan berita, jelas dia sudah melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Maka ketika ada pihak redaksi mengatakan “silakan gunakan hak jawab” terhadap berita tanpa konfirmasi, inilah yang disebut wartawan yang gagal paham terhadap Kode EtikJurnalistik. Media seenaknya berdalih, memberi kesempatan melakukan hak jawab, sementara watawan media tersebut seenaknya melabrak dan mengobrak-abrik Kode Etik Jurnalistik-nya sendiri.
Dalam beberapa tulisan saya yang lalu terungkap, kekerasan terhadap wartawan sangat boleh jadi akibat ulah wartawan itu sendiri. Contoh penembakan terhadap salah seorang wartawan di Sumatera Utara, terlepas dari kita mengecam keras tindakan keji terhadap pekerja pers tersebut, boleh jadi mustahil ada asap tanpa ada api. Setidak-tidaknya ada penyebab yang sangat krusial yang dilakukan almarhum wartawan sehingga terjadi pembunuhan yang tidak berperikemanusiaan itu,
Sebagai salah seorang yang meneliti konten berita media, saya menilai, dari empat berita yang dimuat media almarhum yang saya pilih dan beraroma kontrol dan kritik, sama sekali tidak melakukan konfirmasi kepada pihak yang terkena berita. Sangat boleh jadi inilah yang menjadi biang terjadinya pembunuhan itu.
Inilah salah satu pentingnya wartawan memahami latar belakang budaya tempat media tersebut berada. Unsur budaya ini sangat penting dipahami oleh para wartawan, terutama di era kebebasan ini, saat pers tidak lagi segan mengkritik pemerintah, tetapi justru harus merasa ngeri dan hati-hati terhadap masyarakatnya sendiri ketika salah memberitakan sesuatu.
Saya berharap demi kehormatan profesi kita ini, selaku orang yang dipercayakan sebagai “jubir” UCM saya siap dihubungi 1×24 jam, seperti juga yang saya lakukan ketika menjabat “Jubir” Unhas beberapa lama. Sebagai seorang yang lebih dulu hadir di dunia kewartawanan, saya ingin lebih memahamkan akan pentingnya para wartawan memahami, mematuhi, dan menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam melaksanakan profesinya. Di sisi lain, selalu merasa bahwa kelalaian menaati Kode Etik Jurnalistik ibarat “dosa” terhadap profesi ini.
Oleh sebab itu, lakukan konfirmasi sebelum sesuatu yang terburuk terjadi. Konfirmasi mencerminkan etikad baik seorang wartawan menegakkan profesinya, bukan membiarkan yang terkena berita terus diberondong dengan berita sepihak. Kemudian ketika pihak yang dirugikan melakukan somasi, dengan enteng mengatakan, silakan beri hak jawab. Hak jawab macam apa, sementara media sendiri tanpa merasa bersalah melanggar Kode Etik Jurnalistik-nya sendiri. Apa kata dunia?
Terima kasih, jaga diri, tetap patuhi protokol kesehatan Covid-19. Salam sehat selalu. (*).