Sabtu, 8 Februari 2020, sekitar pukul 09.00 waktu Tidore, bersama kakak saya (Jamadi Pattisahusiwa), dan ponaan (Basir Salatalohy) bersiap ke pulau besar, Halmahera. Ke pulau ini, selain untuk membayar janji bertahun tahun lalu, juga melepas kangen sama kakak, Hj.Maryam Pattisahusiwa dan ponaan Sary Salatalohy. Perjalanan ke pulau berbentuk hurup K ini saya menulisnya apa adanya….
Sementara menunggu bentor di rumah Basir di bilangan Jalan Ahmad Yani, Asiah Salatalohy tiba tiba muncul. Setelah bersalaman dan ceritera sedikit bersama ponaan saya yang tak lain anak kedua dari H.Achmad Salatalohy (Alm) dan Hj.Maryam Pattisahusiwa yang juga salah satu dosen Program Studi Kehutanan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate itu kamipun menumpang dua bentor menuju pelabuhan Goto.
Masuk ke pelabuhan ini, dikenakan tiket Rp1000 perkepala. Sekitar pukul 10.00, speed boad bertarif Rp50.000 perkepala itu menuju Halmahera. Pemandangan sepanjang penyeberangan sungguh mengagumkan. Di sisi kiri dan kanan terlihat sejumlah pulau yang indah dan memanjakan mata. Di kiri misalnya, ada pulau kecil tak berpenghuni, Filonga. Pulau ini memiliki keanekaragaman hayati. Berpasir putih. Airnya yang dangkal menambah eksotisme. Sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di pelabuhan Loleo, Kecamatan Oba.
Dari kejauhan, terlihat lambaian tangan seorang lelaki. Saya menebak dalam hati, itu pasti Bas– suami dari Sari Salataohy. Kami berjabatan tangan. Mobil Avansa warna hitam bernomor polisi DG 1095 KF miliknya siap membawa kami ke Weda, ibukota Halmahera Tengah.
Saya mengambil posisi duduk di depan. Dalam perjalanan, Bas—pemilik nama lengkap Basri Syawal,SE ini selalu menjelaskan nama tempat yang kami lewati. Tidak jauh dari Pelabuhan Loleo, mobil diarahkan ke kanan dan masuk ke Paji Ma’ano. Ekowisata di Desa Aketobololo ini terdapat mangrove merah (bruguiera gymnonhiza) berdiameter besar dan menjulang tinggi terlihat di sepanjang jembatan yang kami lewati. Kami masuk puluhan meteran, hingga di bibir pantai. Terlihat beberapa pulau yang berjejer dari kejauhan. Indah indah.
Kami jalan lagi. Kali ini mobil diarahkan ke trans Halmahera. Paparan dataran rendah, dataran tinggi, hingga beberapa barisan pegunungan dengan puncak-puncaknya, termasuk dusun, desa, dan kecamatan kami lewati. Terlihat masjid Attaqwa—di dusun Sumae. Ada desa Togema dan Tauno. Ada pula Desa Tadupi, Gita Payahe dan lainnya.
Di Gita Payahe, saya sempat turun sekaligus membidik dengan kamera Nikon D710. Ada pula Masjid Baburrahman di Desa Bale, serta Taman Nasional Aketajane Lolobata. Sesekali terlihat jurang menganga akibat longsoran. Ada belokan tajam. Ada tanjakan. Dan, tak lama kemudian kami melaju ke ketinggian, hingga melihat keindahan Kota Weda dari kejauhan.
Sebelum ke perumahan Pemkab, Bas sempat keliling untuk melihat lebih dekat ibukota kabupaten yang kini dipimpin Edi Langkara dan Abdurahim Rahim Odeyani ini. Di pusat Kota Weda terlihat masjid megah Darussalam, pasar, rumah susun untuk PNS, kompleks rumah dinas anggota DPRD, hingga kompleks kantoran.
Setelah makan siang, kami duduk di tempat santai depan rumah berlantai dua. Kami makan buah buahan, pisang goreng, dan lain-lain ditambah teh manis. Dalam suasana santai, kami berkisah tentang masa lalu. Mengisahkan nostalgia. Berkelakar, hingga tertawa lepas. Untungnya, rumah Bas ini di bagian pojok.
Menjelang magrib, kami berempat (saya, Bas, Basir, Jamadi) memilih shalat di masjid Darussalam. Jika tidak salah, imam shalat saat itu adalah Drs.Rustam (Asisten I Pemerintahan dan Kemasyarakatan Pemkab Halmahera Tengah). Usai shalat, kami ke pelabuhan yang menghubungkan Kota Weda dengan kecamatan lain, misalnya Patani, Pulau Gebe, bahkan Sorong Papua.
Tak jauh dari pelabuhan ini terlihat pulau kecil tak berpenghuni. Pulau Imam. Soal pulau imam itu, pada Sabtu malam (8 Februari 2020), Bas memberi sedikit penjelasan, jika pulau kecil yang indah pas di depan Kota Weda itu hanyalah untuk kuburan bagi penduduk setempat.
Di malam panjang itu, pas bulan berada di atas pulau Imam. Sekalipun terkesan seram, namun tiba tiba muncul keinginan ke pulau yang luasnya sekitar 3 hektar tersebut malam itu. Apalagi, selain menjadi salah satu spot wisata eksotis, indah dan tenang, di pulau ini juga dikelilingi hamparan pasir putih yang indah. Apalagi ada bukit ‘jere Koleyevo’. Orang menyebut sebagai ‘keramat’. Untuk mencapai puncak bukit ini, harus menaiki sebanyak 99 anak tangga. Angka 99 diartikan sebagai asmaul husna.
Keesokan harinya, Ahad 9 Februari di kabupaten yang menjunjung tinggi falsafah Fagogoru—falsafah hidup masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah yang senantiasa mencerminkan kearifan lokal–local genius (Ngaku Rasai, Budi Bahasa, Sopan re Hormat, Mtat re Mimoi ) yang mencirikan saling menghormati, menyayangi, ramah lingkungan.
Termasuk, taat kepada hukum, toleransi antara sesama, solidaritas sosial yang kuat serta menghargai nilai – nilai yang berkembang dalam masyarakat dengan mengukuhkan sikap terbuka kepada semua pihak untuk hidup berkembang tanpa diskriminatif. Sekaligus simbol budaya, untuk mengapresiasikan rasa sayang, rasa memiliki, rasa saling menjaga/merawat dari ketiga negeri yakni Maba, Patani, dan Weda. Kami sekeluarga menuju Desa Nusliko. Jaraknya dari Kota Weda hanya 1,5 km.
Di desa ini, ada obyek wisata yang sementara dibangun Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah. Namanya, Delek Were Nusliko Park. Kawasan ini berpadu dengan pantai cantik dan hutan bakau. Cakupannya, hingga ke pantai bagian selatan dengan hamparan pasir pantai yang indah. Pemandangan lepas di sini menuju Samudera Pasifik.
Menurut Bas, Nusliko Park bakal menjadi primadona, sekaligus semacam ruang terbuka hijau seperti hutan kota. Di sini juga satu simpul dengan Goa Boki Maruru—kisah seorang putri yang menghanyutkan diri. Jika berada di Goa ini dapat menikmati keindahan dan keunikannya. Sebab, dalam goa yang bakal masuk Geopark Nasional ini sangat hening, bahkan menguji andrenalin. Airnya bening dengan kedalaman bervariasi, 1-4 meter. Di dalam goa ini juga pengunjung akan disambut nyayian burung yang indah.
Di kawasan Nusliko Park, terlihat gapura-gapura baru dan perahu kecil. Jadi semakin instagramble untuk anak-anak muda, hingga orang tua. Nusliko Park mempunyai keindahan yang membuat takjub. Ditambah suasana alam yang ramah, disertai lokasi yang strategis, menjadi incaran wisatawan.
Setelah berpuas diri di Nusliko Part, kami bermaksud ke wisata agrobisnis Wayroro. Di Wayroro ini begitu istimewa. Nuansa alam pedesaan yang dipenuhi hijaunya rumput, membuat terasa tenang dan damai. Tempat ini cukup jauh dari bising mesin kendaraan bermotor dan tentunya jauh juga dari polusi.
Hanya saja, karena ‘kampung tengah’ mulai keroncongan, kami memilih singgah di pantai yang masih di wilayah hukum Desa Nusliko. Kami habisi bekal di pantai yang indah ini. Pantai dengan air yang jernih, ditambah lambaian nyiur membuat nyaman dan kepingin berlama lama di sini.
Di atas pasir ini, terlihat nuansa alam yang indah. Deburan ombak yang tenang membuat Almira Rifda Syawal–anak Sary lebih leluasa menikmatinya dengan suka ria. Dia terlihat gembira. Dia berenang. Berlarian. Melompat kegirangan. Dia bermain pasir sambil berbicara sendiri. Sesekali, kami berteriak mengingatkannya agar jangan terlalu kejauhan.
Pantai Nusliko dengan keramahtamahannya seakan menghipnotis kami berlama lama. Pantai dengan ombak yang tenang membuat kami betul betul menikmatinya. Pasirnya yang halus mempercantik suasana, dipadu luasnya pantai yang tak terbatas pandangan mata.
Deburan ombak yang tenang dan bergulung kecil membuat hati ingin merasakan sejuknya susana tersebut. Keramahtamahan suasana pantai ini akan menghipnotis saya untuk tidak berkedip melihat berbagai pemandangan. Makanya, terbetik dalam hati, kepingin merasakan sejuknya pantai ini kedua kalinya.
Kami menuju kawasan agrowisata Wairoro. Kami menuju kebun buah naga. Ada pula buah semangka, jeruk dan tomat. Sari membeli semangka. Sebagian kami makan, sebagian dibawa pulang sebagai oleh oleh ke Tidore dan Makassar.
Dulunya di lokasi ini adalah persawahan milik transmigrasi asal Jawa. Di sepanjang perjalanan ke Wairoro, udaranya sejuk, karena hamparan warna hijau di mana-mana, membuat kami merasa damai dan tenang. Di kiri kanan jalanan beberepa ekor sapi merumput. Menjelang sore kami kembali ke Kota Weda.
Sebenarnya, saya kepingin berlama lama di kabupaten bervisi “Halmahera Tengah maju, sejahtera berlandaskan falsafah Fagogoru” itu untuk menjelajah berbagai destinasi. Misalnya, Pantai Patamdi yang mempunyai keindahan laut dengan suasana alam yang ramah dan perbukitan.
Ada pula Pantai Kupa-Kupa, Tanjung Bongo, ke pulau Oto, atau ke Batu Dua. Sebab, usai shalat subuh, Senin, 10 Februari Bas mengantar kami empat bersaudara yang tak lain mertua mertuanya (saya, Hj.Maryam, Baharjan, dan Jamadi) menuju pelabuhan Loleo. Dari pelabuhan kayu ini kami menggunakan speed boat ke pelabuhan Goto di Tidore.
Sebelum kembali ke Makassar, saya sempat ke destinasi wisata bersejarah di Tidore yang akan dinarasikan nanti. Misalnya, ke keraton dan kuburan Sultan Nuku…… (Catatan perjalanan ke Maluku Utara, din pattisahusiwa-5-bersambung)