Ibu, kata tersejuk yang dilantunkan bibir-bibir manusia. Dan, ibuku,  adalah sebutan terindah.  Ibu adalah mata air cinta. Kemuliaan. Kebahagiaan. Dan, toleransi. Siapa pun yang kehilangan dan ketakhadiran ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci, yang senantiasa merestui dan memberkatinya. (Khalil Gibran)

Dulu, perempuan (baca: ibu) hanya terkungkung dan berdiam diri di rumah. Masa itu, kaum hawa sekadar mengasuh anak-anaknya dan melayani suami. Bahkan, ada keterikatan dengan nilai-nilai tradisional.  Tapi kini, mereka terampil. Cakap, dan mendapat perlakuan yang sama. Sejajar laki-laki.  Mereka kini aktif, kritis, dan memiliki hak yang sama dalam semua jenjang. Kebebasan berkarir disemua lini inilah, membangkitkan semangat, sekaligus berpenampilan lebih modern.

Setelah Kartini membumikan kebebasan bagi perempuan, kini mereka kebanyakan berkiprah diluar rumah. Berbagai kesibukan menjadikan mereka sebagai  wanita karir. Ini kebanggaan. Dan,  inilah, bukan  karena faktor gengsi dan ingin eksis semata. Melainkan menjawab tantangan diera keterbukaan dan reformasi saat ini.

Tidak sedikit diantara mereka, menjadi pemimpin. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri yang mengikuti jejak ayahnya, menduduki kursi kepresidenan. Ada yang menjadi menteri, gubernur, bupati/walikota. Ada pula yang menjadi camat, lurah, hingga kepala desa sekalipun. Termasuk RT/ RW. Mereka juga bersuara lantang di parlemen, hingga pengusaha sukses. Jabatan rektor pun mereka raih. Dan, banyak lagi!!

Peran ibu di zaman ini, mempunyai tantangan yang lebih kompleks. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, menjadi hal menarik untuk mereka menunjukan identitasnya sebagai manusia unggul. Para lelaki, utamanya suami, anak-anak, dan keluarga besarnya, juga lebih bangga memperkenalkan ibunya dengan segudang prestasi. Ketimbang hanya menjadi ibu rumah tangga. Tuntutan dasariah secara intens disetiap napas  kehidupan keluarga yang lebih baik. Tetapi, di satu sisi, tarikan dari luar begitu kuat, memaksa mereka mengejawantahkan nila-nilai sesuai tuntutan emansipasi.

Hj.Rohani Vanath, misalnya.  Ibu empat orang anak yang kini berkiprah sebagai anggota parlemen di Senayan dikonfirmasi Inspirasi mengemukakan, sebenarnya, sejak lama kaum ibu memiliki kemampuan. Punya logika berpikir. Bahkan, loncatan pemikiran, hingga  ide-ide besar tidak diragukan lagi. Makanya, mendapat kepercayaan masyarakat untuk tampil diberbagai  pentas kepemimpinan nasional dan daerah. Perempuan memberi warna tersendiri dalam peta perpolitikan di tanah air.

Tak ketinggalan, para ibu di Indonesia pun telah menduduki jabatan-jabatan strategis. Hanya saja,  sekalipun telah menyandang jabatan penting, termasuk anggota parlemen sekalipun, namun anak ketiga dari enam bersaudara, pasangan H.Abd Rasyid dan Hj.Hania Sui (keduanya kini alm) ini mengharapkan, tidak menjadikan mereka melupakan identitas dirinya sebagai ibu dari anak-anak, dan istri dari seorang suami.

 “Yang perlu diingat, sekalipun para ibu berprestasi di berbagai jenjang, namun pada akhirnya, tidak boleh melupakan tugas utama didapur. Sebab, kehadiran ibu, untuk mendidik anaknya, menjadi pertama dan utama. Seorang ibu, tetap menjadi penting dalam membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis. Termasuk, membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar,” tutur istri dari Abdullah Vanath—mantan bupati dua periode Seram Bagian Timur (SBT) ini.

Di level nasional, utamanya parlemen, misalnya. Rohani Vanath yang kini duduk di Komisi III ini mengakui, kehadiran para ibu yang ada di berbagai fraksi terus menyuarakan sikap politik yang mumpuni. Termasuk menggolkan  berbagai perangkat Undang-Undang. Diantaranya, bertalian dengan hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Komisi III bermitra dengan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, KPK, Komnas Ham, Komisi Hukum Nasional, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen Komisi Yudisial, PPATK, LPSK, BNN, BNPT, dan Setjen MPR.

Secara umum, demikian legislator asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini,  para ibu di parlemen, tentunya terus berjuang dengan ide-ide brilian. Kesemuanya itu, bermuara pada kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat.

Mahasiswi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang suka ikan bakar ini mengaku, di Senayan, dia bersama rekannya, juga perempuan asal Maluku, Mercy Christy Barends (PDIP) terus menyuarakan kepentingan perempuan Maluku. Hanya saja, diantaranya masih ada yang butuh proses.

Menyoal peran ibu di zaman modern, tokoh Maluku, berdarah Bugis Bone, kelahiran 19 Januari 1970 ini mengharapkan, agar mereka terus menunjukan identitas dirinya. Para ibu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman, akan menjadi mitra diskusi  bagi suami untuk merancang masa depan anak dan keluarga agar lebih baik.

Apalagi, pendidikan anak saat ini, tidak bisa disamakan dengan apa yang dialami  pada masa lalu. Makanya, mendidik anak-anak harus sesuai dengan zamannya. Inilah konsep ibu modern. Ibu modern adalah ibu yang bisa memberikan bekal pendidikan bagi anak-anaknya menggapai harapan baik. Termasuk memberi kebebasan kepada anak menentukan pilihan. “Maka benarlah sudah istilah, majunya suatu bangsa karena wanita, runtuhnya suatu bangsa pun karena wanita,” ujarnya.

Tentunya, sekalipun memberi kebebasan kepada anak-anak, namun tetap dikontrol, agar tidak terjerumus dalam tindakan diluar batas kewajaran,”  ujar mantan PNS sipil angkatan darat ini, seraya menambahkan, anak sulungnya (Sidik Vanath) kini diberi kesempatan menuntut ilmu di Massachusetts, Boston, Amerika Serikat. (din pattisahusiwa)rohani-vanath

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here