Dwi Nur Fitriani
Dwi Nur Fitriani

Gowa – Ada yang baru pada pada gedung Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri  Alauddin Makassar (FDK UINAM) , setelah menjadi pusat perhatian beberapa waktu lalu dengan berdirinya Tugu Pena tepat di depan gedung FDK yang cukup menarik perhatian masyarakat kampus dan tentunya civitas akademika.

Kini bagian dalam gedung di hiasi dengan bingkai-bingkai foto yang menempal rapi pada dinding tangga gedung FDK. Kalau biasanya kita hanya bisa menemukan jajaran foto-foto di pameran fotografi, kini di beberapa sudut gedung serta ruangan jurusan dan ruangan dosen kini sudah terhiasi rapi foto foto hasil jepretan mahasiswa FDK .

Karya karya  ini tak lepas dari hasil mata kuliah fotografi  di ajarkan oleh Hasbullah Mathar. Seorang dosen sekaligus salah fotografer handal di kota Makassar.  Dia padukan antara hobi fotografi dengan menjadi dosen mata kuliah fotografi.  Warna baru diberikan oleh Bang Ibul, sapaan akrabnya, pada salah satu mata kuliah favorit mahasiswa FDK ini. Karya karya mahasiswa tidak hanya di pajang sesaat pada pameran lalu setelah itu hanya di simpan tetapi foto tersebut di bingkai rapi lalu menjadi hiasan cantik pada dinding fakultas.

Lahir dan besar di kota Anging Mammiri Makassar, ’tepatnya 3 Mei 1975  menjadi motivasi tersendiri bagi bang Ibul untuk melanjutkan kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta. Dia  mengambil jurusan hukum di fakultas agama UII kedua orangtuanya mengharapkan dia bisa menjadi hakim kelaknya. Tapi takdir bekata lain ,harapan sang ayah dan ibu ternyata berbeda dengan harapan sang anak.

 “Orangtua saya sebenarnya mengharapkan saya menjadi seorang hakim tapi saya tidak suka,saya tidak connect karena saat saya praktikum saya melihat pengacara dan hakim saling gontok-gontokan saat di kelas tapi saat di kantin mereka cekikikan, jadi saya melihat hukum itu penuh sandiwara.”ujiarnya saat menjelaskan.

Selain menjadi mahasiswa di UII Jogjakarta, pada saat yang bersamaan ia juga menjadi mahasiswa pendengar/tamu (mustami) di Institut Seni Indonesia. Di sinilah awalnya  dia mengenal ilmu rekam untuk pertama kalinya. Walaupun ia hanya mahasiswa tamu tetapi ia memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan ilmu baru yang tidak ia dapatkan pada jurusan sebelumnya.

Menempuh pendidikan di kota yang sangat menegedapankan pendidikan dan seni membuatnya  mempunyai passion belajar yang tinggi. Maka tak heran jika ia banyak mencari tempat belajar yang lain bukan hanya di satu tempat.

“Saya ini bukan mau kuliah saya mau belajar, hidup itu adalah proses belajar bukan hanya sekedar kuliah yang datang ke kampus, ketemu dosen. Saya ingin bekerja tapi pekerjaan itu saya cintai.”,  ungkap ayah beranak dua ini.

Dengan beradanya ia di lingkungan orang-orang yang pembahasannya tak pernah jauh dari pendidikan dan seni membuat pikirannya terbuka. Pilihannya pun untuk hijrah ke Jogja agar ia bisa melihat dunia lebih luas lagi bukan hanya di tempat kelahirannya saja.

Sembari berkuliah di sana, dia juga bergabung di HISFA (Himpunan Seni Fotografer Amatir) Jogjakarta. Organisasi kampus pun tak ketinggalan ia jelajahi seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Senat, dan MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam).Dari keaktifannya di dunia kampus inilah membuatnya sangat mencintai dunia akademik. Baginya tak ada waktu main-main semua habis dengan waktu berkegiatan. Prinsip ini lah yang mungkin bisa membuat bang ibul pun melebarkan sayap karirnya di dunia fotografi yang telah mantap di pilihnya pada tahun 1998.

Dia mulai bergabung pada Plat A Management sebuah perusahaan yang bekerja di dunia entertainment. Di sinilah ia mulai bersentuhan dengan dunia keartisan. Dan semakin mempatrikan diri sebagai fotografer profesional.

Seiring dengan karier fotografinya yang berkembang, karier akademiknya pun terus meningkat. Karena keaktifan di lembaga kampus ia pun  di angkat menjadi asisten dosen di lembaga pengabdian masyarakat untuk mengurusi program KKN.Melalui jabatan inilah dia pun mulai mengatur jadwal kuliah dan ikut serta dalam beberapa penilitian yang di lakukan lembaga yang bekerja sama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Saat bergabung pada penilitian tersebut job desknya  menjadi fotografer. Dia yang memotret semua yang di teliti hutan Nusakambangan selama 3 bulan. Seiring dengan berjalannya waktu suami dari Rasniaty Mahameru ini pun terangkat menjadi dosen.

“Saya selalu berdoa saat mendapatkan surat biasanya tertulis kepada asisten dosen Hasbullah Mathar, saya bilang ya Allah semoga suatu saat kata asistennya hilang tinggal kata dosennya saja.”.  ujar alumni Pesantren Gombara ini sambil tertawa kecil.

Keputusan untuk menjadi dosen bukan tanpa alasan. Selain karena kedua orangtuanya yang juga berprofesi guru,  dia  menuturkan ini adalah sugesti yang sering ia dengar dari nasehat ayah dan ibunya.

“Mereka sering berkata begini, jadi guru itu bagus tapi jadi dosen itu mulia. Nah kalimat itu masuk di telinga saya, makanya apapun yang saya lakukan manjat tebing,naik gunung di tengah banyak orang motret. Ya hidup saya untuk jadi dosen.” Jelas salah satu Kurato (Penafsir Karya Seni) terbaik di Sulawesi Selatan.

Besar di lingkungan pendidik di mana ayahnya alumni fakultas keguruan dan ibunya alumni bahasa Jerman. Membuatnya sudah terbiasa dengan dunia belajar dan disiplin salah satunya di usia 3 tahun ia sudah di harus menamatkan bacaan buku Napoleon Bonaparte. Dan akhirnya kebiasaan membaca pun ia bawa hingga ia tumbuh dewasa dan tentunya ini tidak sisa-sia karena dengan banyaknya ia membaca di tambah segudang kisah pengalaman kuliah dan karier fotografinya tentu ini menjadi bahan kisah yang sangat baik pada profesinya sebagai dosen untuk di share pada mahasiswanya.

Menjadi dosen di jurusan Komunikasi UII Jogjakarta. Karir yang cemerlang dan mapan di kota rantau masih menyisakan sensitivitas kedaerahan yang cukup kental. Oktober 2009 dia memutuskan kembali ke Makassar dan menjadi dosen  di beberapa kampus besar di Makassar seperti di Institut Kesenian Makassar (IKM),UNISMUH,P3TV,POLIMEDIA dan UIN Alauddin Makasar.

Menjadi dosen fotografi dan seorang fotografer handal sebuah kombinasi harapan orangtua dan pilihan sang anak. Walaupun diawal ada rasa penolakan akan pilihan orang tua. Dia pun akhirnya bisa menjalani keduanya. Tetap menjalani pilihan orang tua dengan baik dan tetap menggeluti pilihan karir senimannya.

Harapanya sungguh simpel mengingat backgroun keluraganya yang selain pendidik juga sebagian besar ulama bahkan almamaternya pun alumni pesantern.Ia berharap kedepan dakwah bisa di kemas dengan lebih modern dan menarik salah satunya dengan fotografi. (Citizen Reporter: Dwi Nur Fitriani, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Prodi KPI melaporkan langsung dari Kampus II Samata UIN Alauddin Makassar)

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here