Jangan anggap remeh sampah kulit telur. Pasalnya, benda sisa yang biasa diabaikan ini bisa dijadikan barang wah dan bernilai seni tinggi. Dari pecahan kulit telur, dirangkai satu persatu dan ditempelkan pada berbagai media, hingga bisa dijual puluhan juta. Tidak hanya puas dengan kemampuan dengan kreasi kulit telur, perajin juga berinovasi dengan merambah seni rangkai arang, paku, biji-bijian dan juga bonsai.
Morris Alexander Siregar, salah satunya. Bagi pria berusia 34 tahun ini sejatinya sudah menggeluti berbagai pekerjaan, mulai dari koki hingga konsultan restoran dalam kurun waktu 12 tahun. Namun, jiwa seni yang besar memaksa keluar dan memutuskan melepaskan semua zona ‘aman’ untuk mencoba tantangan baru sebagai pengrajin kulit telur.
Dia meyakini, kerajinan tangan merupakan usaha yang telah lama ditekuni dan menjadi usaha turun temurun. Selain dimintai wisatawan lokal, hasil kerajinan ini kebanyakan dimintai wisatawan asing yang berkunjung di Indonesia. Bahkan, banyak hasil produk kerajinan telah menembus pasar ekspor.
Morris sempat menyangka, dia bakal menjadi pria pertama yang memanfaatkan kulit telur di Indonesia. Ternyata tidak, dia orang kesekian. Mempelajari seni kulit telur, Morris bisa secara otodidak. Dia menyebut, bahwa darah seni sudah mengalir jauh dari di tubuh, bahkan saat terjun jadi koki. Dalam berkarya, Morris bisa menggunakan semua jenis kulit telur, baik itu ayam, bebek, angsa, itik, atau telur puyuh.
Karya pertama yang dibuatnya adalah lukisan. Pada prosesnya, kulit telur dibersihkan terlebih dahulu membuang kulit ari dan mencuci, kemudian dijemur baru diwarnai. Untuk menyatukan kulit telur, dia menggunakan perekat biasa. Sedangkan untuk medianya, Morris memanfaatkan pengrajin keramik yang ada di daerah Tanjung Morawa, Deliserdang. Untuk kulit telurnya, kalau ayam bisa lebih lembut sedangkan bebek agak keras tapi cantik warnanya. Sedangkan, cat hanya tambahan warna di medianya. Karena pada dasarnya kulit telur itu karya warna, ada 47 turunan warnanya.
Perajin kulit telur lainnya di Yokyakarta. Disajan, para pengrajin kasongan mampu meningkatkan taraf hidup mereka dengan memproduksi bahan mentah menjadi hasil karya yang bernilai. Dengan kreativitas dan inovatif yang mereka miliki, para pengrajin mampu melakukan perubahan bentuk yang lebih bervariasi dan menarik dengan harga yang bervariatif pula.
Keluarga Nur Ahmadi misalnya. Sudah turun temurun mereka menjadi pengrajin gerabah. Bermula dari kakeknya, dilanjutkan ayahnya. Kini, ia meneruskan tradisi keluarga itu. Omsetnya berkisar Rp70 juta sebulan. Omset tersebut kebanyakan diperoleh dari hasil penjualan ekspor gerabah cover kulit telur ke Australia.
Warga Dukuh Semampir, Panjangrejo, Bantul Yogyakarta ini sudah lama dikenal sebagai pengrajin gerabah. Aneka gerabah telah dia buat. Mulai dari gerabah yang mempunyai nilai fungsi seperti kendi dan ceret, hingga yang memiliki nilai seni, seperti vas bunga yang kini marak di pasaran.
Nur Ahmadi memulai usaha berlabel Thoctil Art ini hanya dengan modal Rp5 juta. Modal itu ia gunakan untuk membeli alat letak, alat putar, tungku dan bahan tanah lempung. Tanah lempung ia peroleh dari Godean, sebelah barat Yogyakarta, dengan harga Rp200 ribu per colt.
Sebelum tren penggunaan cover, gerabah hasil ini dihias menggunakan cat. Namun ketika gerabah itu beralih ke tempat yang iklimnya berbeda, terutama dingin, toxin pada cat menjadi aktif dan berpengaruh buruk pada kesehatan.
Meskipun kini banyak cat non toxin, namun pasaran gerabah menggunakan cat tetap saja tidak terlalu bagus. Ia kemudian mencoba membuat cover dari bahan lokal seperti batik, kertas, kulit telur, rotan, pasir, bambu, pelepah pisang dan daun pisang. “Banyak juga pengrajin yang menjadi spesialis pembuat salah satu atau beberapa cover,” terang spesialis cover kulit telur dan daun pisang.
Dinasti ketiga perajin gerabah ini memperoleh kulit telur dengan mudah. Cukup mendatangi penjual roti, ia akan memperoleh kulit telur dengan gratis. Penjual roti pun senang Nur Ahmadi berminat pada kulit telurnya, dengan begitu mereka tidak kerepotan mengurus sampahnya. Sedang daun pisang, diperoleh dari pohon pisang di kebunnya.
Hasil kerajinannya berupa aneka vas hias dengan beragam bentuk dan model. Harganya pun variatif, mulai dari Rp9 ribu hingga Rp51 ribu. Jika gerabahnya sudah dipacking dan dijual keluar negeri, harganya pun menjadi berbeda.
Pertama kali menjual gerabah cover kulit telur, ia meraih omset Rp48 juta. Jumlah itu ia peroleh dari 4 ribu buah gerabah. Pemesannya dari Belanda. Dari hasil penjualan itu, pria yang memanfaatkan keahlian para mahasiswa Instutut Seni Indonesia (ISI) Yokyakarta ini memperoleh laba sekitar 20-30%.
Dari sekian banyak cover, paling laku gerabah bercover kulit telur. Melalui eksportir, karyanya melanglang buana ke luar negeri. Terhitung negara yang sering memesan gerabah bercover kulit telur adalah Australia, Belanda, Spanyol, Amerika, Singapura dan Malaysia. “Pemesan paling sering dari Amerika, Singapura dan Malaysia,” ungkap Ketua Paguyuban Pengrajin Gerabah (PPG) Dusun Semampir ini.
Jika sedang banyak pesanan, ia dan 190 perajin yang tergabung dalam Gabung Kelompok Perajin Panjangrejo Pundong (GKP3) tak ragu berbagi rejeki kepada teman-temannya. Sistemnya berbagi jatah pesanan atau dibuat sendiri dibantu karyawan.
Industri gerabah di Bantul sempat terhenti waktu gempa bumi melanda daerah itu tahun 2006 silam. Hampir semua pengrajin vakum membuat gerabah. Kalaupun ada yang masih mengerjakan, hanyak pengrajin yang mempunyai pasar ekspor saja. Setahun kemudian, 2007, pelan-pelan mulai bangkit kembali.
Isu-isu nasional maupun internasional juga seringkali menjadi kendala pasaran gerabah, terutama untuk pasaran ekspor. Misalnya waktu ada isu teror bom, banyak konsumen dari luar negeri yang menghentikan transaksinya. Bahkan krisis Yunani yang tidak secara langsung menghantam Indonesia pun berimbas pada berkurangnya konsumen gerabah dari luar negeri.
“Meski tidak sampai mematikan industri gerabah, tapi tetap saja mempunyai pengaruh besar terhadap pasaran gerabah,” keluh Nur Ahmadi.
Menyiasati hambatan itu, Nur Ahmadi dan pengrajin gerabah lainnya kini mulai melirik pasaran lokal. Melalui penjualan online, kerajinan karya mereka berkelana ke Jakarta, Surabaya, Riau dan sejumlah kota di Kalimantan. Selain itu mereka juga menitipkan karya mereka ke toko-toko yang sering dikunjungi wisatawan. (Hayati Nufus/Yogyakarta-MIU-din)