Inspirasimakassar.com:

Setelah lima tahun, panggilan telepon yang tak terhitung jumlahnya, pesan teks daring dan dua misi penyelamatan yang gagal, nenek asal Sydney, Karen Nettleton, akhirnya dipersatukan kembali dengan tiga cucu dan dua cicit-nya yang masih hidup di sebuah kamp pengungsian di timur laut Suriah.
Ini adalah pertama kalinya Karen Nettleton melihat cucu-cucunya sejak mereka dibawa ke Suriah

Pemerintah Australia telah memberi tahu Nettleton bahwa anak-anak itu akan segera dibebaskan dan berada di bawah asuhannya

Ini adalah pertama kalinya ia melihat Zaynab, Hoda, dan Humzeh Sharrouf sejak mereka diambil oleh ibu mereka Tara Nettleton, istri dari militan kelompok Negara Islam (ISIS), Khaled Sharrouf -untuk bergabung dengan organisasi teroris itu di Suriah dan Irak. Tara, Khaled dan kedua putra tertua mereka semuanya telah meninggal.

Program Four Corners menemani Nettleton ketika ia melakukan perjalanan ke Suriah untuk menyelamatkan tiga anak dan dua balita yatim tersebut yakni Zaynab, Aiesha dan Fatimah, dari kamp pengungsi al-Hawl, di mana mereka hidup dalam kondisi jorok selama beberapa minggu setelah mereka berhasil melarikan diri dari Baghouz – benteng terakhir ISIS.

“Aku tak percaya ini terjadi. Aku tak percaya ada di sini bersamamu, aku merasa aku sedang bermimpi,” kata Hoda yang berusia 16 tahun ketika ia mendorong wajahnya ke dada neneknya.

“Kamu tak sedang bermimpi, kamu tak akan bangun,” jawab Nettleton ketika ia mencium Hoda berulang kali.
Karen Nettleton tak melihat cucu-cucunya sejak mereka dibawa ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Karen Nettleton tak melihat cucu-cucunya sejak mereka dibawa ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Awal dari mimpi buruk

Selama setengah dekade, Nettleton tinggal sendirian di rumahnya yang sunyi di pinggiran kota Sydney. Satu-satunya pengingat fisik tentang keluarganya adalah selusin foto yang menggantung di hampir setiap ruangan.

Pada bulan Februari 2014, Nettleton, Tara dan anak-anak Sharrouf pergi ke Malaysia untuk liburan. Tara memberi tahu ibunya bahwa ia berencana pergi ke Turki.

Ia mengatakan ingin mengunjungi Istana Topkapi yang terkenal di Istanbul, di mana adegan-adegan dari opera sabun Turki favoritnya disyuting. Mereka akan pulang dalam beberapa bulan, katanya kepada sang ibu.

“Saya menciumi anak-anak, menciumi wajah mereka, memeluk mereka, mencium mereka lagi, memeluk Tara, menciumnya, dan berjalan keluar, dan meninggalkan mereka di sana, tapi saya tak tahu saya mengucapkan selamat tinggal kepada Tara, untuk abdullah dan untuk Zarqawi ketika saya melakukan itu. Jika saya tahu, saya tak tahu apakah saya akan pergi,” kata Nettleton.

Itu adalah awal dari mimpi buruk dimana Nettleton baru terbangun bulan ini.

Sejak tahun 2015, ABC telah mengamati penderitaan Nettleton saat ia mencoba menemukan cucunya yang hilang dan membawa mereka pulang dari Suriah yang dilanda perang.

Nettleton berhasil tetap berhubungan dengan kelima anak tersebut terutama melalui aplikasi pengiriman pesan. Ia juga berkomunikasi dengan Tara hingga September 2015, ketika perempuan 31 tahun itu meninggal karena masalah usus.

Dua kali Nettleton terbang ke Turki untuk mencoba mengatur jalan keluar aman bagi keluarganya agar keluar dari zona perang: dua kali ia pulang dan gagal.

“Saya harus mendapatkan anak-anak saya kembali. Mereka layak untuk kembali ke sini, mereka layak berada di sini dan bahagia dan aman dan memiliki makanan dan bisa keluar di jalanan, hidup normal,” kata Nettleton.

Telepon yang mengubah segalanya

Kemudian pada bulan Maret, Nettleton, 58, menerima telepon yang telah ditunggunya selama lima tahun.

“Jumat malam saya [mendapat] panggilan telepon dari Hoda memberitahu saya bahwa ia di kamp pengungsi, kamp pengungsi al-Hawl. Saya tak bisa memercayainya,” katanya.

Dua hari kemudian, Zaynab, dua anak balita-nya dan Humzeh juga tiba di kamp.

“Dan kemudian untuk menunggu telepon dari Zaynab … butuh beberapa hari bagi Zaynab karena ia harus diproses, tetapi menerima teleponnya … diberi tahu bahwa ia ada di sana, benar-benar mendengar suaranya.

Saya langsung tahu mereka semua akan aman, mereka akan bersama lagi,” kata Nettleton.

Sekali lagi, Nettleton mengepak tasnya dan naik pesawat ke Timur Tengah. Kali ini ia terbang ke Erbil, Irak, dan melakukan perjalanan berbahaya melewati perbatasan ke Suriah dan ke kamp pengungsi al-Hawl.

Selama 45 menit, ia berjalan di jalan berlumpur di kamp yang dihuni lebih dari 72.000 orang. Ia menyusuri ratusan tenda dan meneriakkan nama-nama cucunya.

Ia berbicara dengan lusinan perempuan yang mengenakan gaun tertutup dan kerudung hitam sesuai permintaan ISIS, menanyakan apakah mereka melihat anak-anak itu.

Akhirnya, seorang perempuan Inggris memberitahunya bahwa bagian kamp Australia berada di sudut paling jauh dari kamp. Nettleton mulai berjalan ke sana.

“Humzeh! Oh, sayang!” ia menangis ketika ia melihat cucu yang tidak dilihatnya selama lima tahun. Ia berlari ke arahnya, menggendongnya, mengayunnya dan menciumi wajahnya.

Humzeh, yang berusia empat tahun ketika meninggalkan Sydney dan sekarang telah menghabiskan lebih banyak waktu tinggal di Suriah daripada di Australia, mengajak Nettleton menanjak sedikit dan menuju tenda keluarga.

Ketika Hoda muncul dari tenda, ia sangat terkejut melihat neneknya sehingga tangannya tampak gemetar.

Hoda dan Nettleton sama-sama mengenakan pakaian hitam dan ketika mereka saling berpelukan dalam pelukan yang dalam, sepertinya mereka adalah satu orang.

“Oh, sayang, aku sangat merindukanmu,” seru Nettleton sambil memegangi cucunya.

Sekitar setengah jam kemudian, Zaynab tiba, dan reuni yang penuh air mata gembira berulang.

“Sudah kubilang aku akan datang, aku sudah bilang aku akan datang,” tawa Nettleton ketika Zaynab menangis dan jatuh ke pelukan neneknya.

Keluarga itu masuk ke dalam tenda. Nettleton menyeret koper merah tua yang penuh dengan hadiah – cokelat favorit anak-anak itu dari Australia, boneka untuk si balita, senter kepala untuk Humzeh, serta makanan, persediaan medis, dan pakaian.

Keluarga itu tinggal bersama selama berjam-jam, berpelukan dan berbicara tentang lima tahun terakhir dan masa depan mereka – mereka berharap untuk kembali ke Australia.

Setelah lima tahun hening, hidup Karen Nettleton tiba-tiba menjadi riuh dengan suara dan gerakan.

Pejabat Australia mengatakan kepada Nettleton bahwa anak-anak itu akan segera dibebaskan dari al-Hawl ke pengasuhannya sehingga mereka bisa kembali ke Australia, meskipun tidak jelas kapan hal itu terealisasi.

BAGIKAN
Berita sebelumyaMafia Surat Suara di Malaysia
Berita berikutnyaDanny Minta Komisioner Ombudsman Berikan Pelayanan Terbaik
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here