Penampilannya sederhana. Kaos hitam berbalut jaket jins terlihat ditubuh mungilnya, dengan celana kain biru tua, dilengkapi sepasang sepatu. Belum lama ini lelaki pendobrak kebekuan fungsi intermediasi industri perbankan di bidang pertanian ini diundang ke Makassar dan tampil bersama Pimpinan Bank Indonesia dan sejumlah direksi. Petani yang tak tamat sekolah dasar itu mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 2007. Dia adalah Masril Koto.
Sekitar tahun 2000 dia melihat banyak kesulitan yang dihadapi petani. Misalnya, tiba-tiba alat bajak mereka rusak, atau tidak memperoleh pupuk karena mahal. Si petani pun kesal. Ada yang berdiam diri, ada pula mencari bantuan di petani lain. Tetapi, saat bersamaan petani lain juga memerlukannya. Kondisi inilah menginspirasinya membentuk Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) khusus petani.
Saat itu, dia menyiapkan modal Rp100 juta. Modal itu diperoleh lewat penjualan saham Rp100.000 per lembar kepada ratusan petani. Setelah modal diperoleh, muncul masalah pembukuan. Tahun 2002, Masril dan teman-teman membangun LKMA. Mereka mendatangi lembaga terkait untuk mewujudkan ide seperti perbankan dan dinas pertanian. Saat bertemu dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan, juga terbantu oleh Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas (AFTA), sebuah lembaga yang turun ke kenagarian (desa) di Sumatera Barat memberikan penyuluhan pertanian.
Ide ini sempat muncul dan tenggelam, tetapi bisa teralisasi pada tahun 2006 dengan nama Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Prima Tani. Setahun berjalan, lembaga ini dikunjungi Menteri Pertanian saat itu, Anton Apriantono.
Dia mengusulkan agar lembaga yang didirikannya diprakarsai Departemen Pertanian (Deptan) RI, sehingga bisa berjalan dengan baik. Akhirnya ide ini diadopsi Deptan menjadi program nasional dengan mencanangkan pembentukan 10 ribu lembaga keuangan pertanian di seluruh Indonesia.
Melalui program pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP) akhirnya Deptan mengucurkan bantuan pembentukan LKMA melalui gabungan kelompok tani (Gapoktan) sebesar Rp 100 juta per unit. Menurutnya, sangat banyak manfaat yang dirasakan petani dengan berdirinya lembaga ini. Utamanya, kemudahan mengakses modal.
Manfaat lain, mengatasi pengangguran anak-anak petani lulusan SMA. Mereka menjadi karyawan di LKMA. Rata-rata tiap LKMA memiliki 5 karyawan. Dengan 200 lebih LKMA di Sumatera Barat, cukup lumayan tenaga kerja yang tertampung. Banyak juga karyawan yang melanjutkan kuliah dengan meninjam uang dari LKMA dan membayar cicilan pinjaman dari gaji mereka.
Di sisi pendidikan, para petani dan anggota menjadi tahu cara mengelola lebaga keuangan, karena semua diikutkan training saat awal pembentukan. LKMA juga jadi sarana penyebaran informasi yang terkait pertanian dengan mengorganisir petani megikuti training pertanian. Tentu banyak kendala yang dihadapi. Utamanya, adalah membangun rasa percaya diri para petani.
Memang ketika lembaga ini telah terbentuk dan berjalan dengan baik, kerap terjadi gesekan antar anggota. Ada yang ingin jadi pengurus, pengelola dan sebagainya. Karena itu, kami atasi dengan pengaturan yang tegas soal pengurus, pengelola dan badan pengawas. Pengurus adalah wakil pemilik saham, pengelola adalah anak-anak para petani. Sementara badan pengawas diambilkan dari tokoh masyarakat setempat.
Saat ini dia disibukkan kegiatan memberikan motivasi pembentukkan dan pengelolaan LKMA di berbagai daerah di Sumbar. Dinas Pertanian Provinsi Sematera Selata, Bangka Belitung, Jawa Barat, Bengkulu, dan Bali bahkan mengundang saya untuk berbagi cerita pengelolaan LKMA. Mereka menganggap Masri layak menjadi contoh. (din)