Indonesia kaya hasil bumi. Makanya, sejak dahulu bangsa Eropa bertarung demi mendapatkan rempah-rempah di bumi pertiwi ini. Mereka mengambil cengkih, pala, kopi, teh, dan lainnya yang saat itu menjadi primadona dunia. Kopi Kintamani Bali misalnya. Jenis kopi ini, bukan sekadar rasa, namun, secara kreatif menyatukan kopi dalam nilai kekerabatan di daerah para dewa itu. Kreativitas-kekerabatan inilah yang membedakan dengan petani kopi lain di tanah air. Apalagi, jenis kopi ini meraih sertifikat Indikasi Geografis (SIG) berdampak terhadap jual.
Meski darah seni mengalir di seluruh nadi orang Bali, namun, tak semua jadi pelukis. Meski tak seluruhnya jadi pemahat, toh nyaris tak ada orang Bali yang tak pandai menari. Karena itulah, seorang petani kopi sesungguhnya juga penari. Dan, sebagai penari, kreativitas telah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Dengan balutan nafas seni Bali, semua menyatu. Semua terimplementasi di tiap profesi yang mereka tekuni. Itulah yang nampak serta terasa kental saat menghastai jalan, menyusuri perkebunan kopi di sepanjang jalan Kintamani yang penuh kebun kopi.
Setidaknya, sepanjang jalur wisata yang membentang antara Tampaksiring hingga Singaraja. Ada sekitar 15.000 hektar lahan kopi. Kawasan yang rimbun, hijau, serta berudara sejuk tersebut kerap dinamai wisatawan asing sebagai the golden trip. Pesona alamnya benar-benar menakjubkan. Bukit, lembah, dan danau silih berganti menampilkan keindahannya.
Secara alami, jenis kopi ini rasanya asam. Sudah bertahun-tahun telah dipasarkan ke mancanegara. Keunggulannya, karena menjadi produk pertama di Indonesia yang meraih Sertifikat Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG), tahun 2008.
Uniknya lagi, rasa asam itu bisa dibuat dalam beberapa tingkatan, menyesuaikan permintaan pasar. Caranya melalui pengaturan waktu proses fermentasi. Untuk rasa standar, dibutuhkan waktu fermentasi 12 jam. Tingkatan tersebut paling banyak diminati, baik di dalam maupun luar negeri, utamanya Eropa, Amerika, dan Korea Selatan. Sedangkan Jepang cenderung menginginkan lebih asam lagi, rata-rata melalui fermentasi sampai 36 jam.
Jika awal Januari 2015 harga Kopi Kintamani di kisaran Rp35.000 per kg, awal Februari melonjak drastis mencapai Rp53.000 per kg. Petani memproduksi buah kopi berkualitas sehingga harga terus merangkak.
Naiknya harga hasil perkebunan rakyat itu berkat keberhasilan meraih SIG sehingga Kopi Kintamani kini menyandang predikat kopi speciality. Dengan adanya sertifikat itu membuktikan Kopi Kintamani memiliki kualitas bagus dan punya kelebihan dan keunggulan.
Sudah sekitar lima tahun terakhir melakukan pengolahan dan penjualan secara kelompok. Kemudian mengerucut dengan membuatnya jadi satu pintu saja untuk mengurus penjualan, dengan membentuk Koperasi MPIG Kintamani. Permintaan kopi Kintamani dalam skala kecil maupun besar, oleh individual atau perusahaan, semuanya ditangani koperasi. Dengan begitu posisi tawar meningkat, sekaligus memperketat kualitas produk.
Pengiriman langsung membuat kami mendapat harga bagus, selain pengiriman juga terdeteksi. Kalau
sebelum-sebelumnya mata rantai jual beli panjang, karena dikapalkan di Surabaya. Nah, di sana kemungkinan dicampur dengan kopi daerah lain yang bisa mempengaruhi kualitas kopi kami.
Selama ini, para petani mengandalkan peranan pengepul yang kemudian menyetornya ke perusahaan-perusahaan pengekspor. Tak jarang terjadi permainan harga dan pembayaran terlambat.
Tingkat keasaman ini bisa disesuaikan keinginan konsumen, melalui pengaturan saat proses fermentasi. Apalagi 20 orang karyawannya telah lulus uji sebagai pengecap melalui proses yang dilakukan oleh sebuah lembaga di Perancis. Ke-20 orang ini pun kemudian menjadi penyeleksi hasil panen, apakah kopi bersangkutan kualitasnya sesuai standar MPIG. Bila tidak, maka tak akan diberi label MPIG.
“Proses awal hingga berupa biji kopi ada aturannya. Diantaranya tidak pakai pupuk kimia, petik biji yang merah saja, penjemuran secara alami utamanya di para-para, dan sebagainya. Melenceng sedikit
saja, rasanya akan beda. Kami telah buatkan pula label MPIG,” tambah I Made Sumarada.
Soal biaya, I Ketut Jati mengatakan, setiap hektar lahan dengan 1.600 pohon, di usia produksi membutuhkan Rp10 juta per tahunnya. Sebagian besar modal itu untuk pembelian pupuk dan membayar tenaga saat panen. Jika hasil rata-rata 5 ton biji gelondongan, kalau dikeringkan menjadi 1 ton OC. Hasilnya tinggal dikalikan dengan harga yang disepakati saat jual beli.
Dengan adanya unit pengolahan, para petani langsung membawa kopi ke penampungan. Pengolahan selanjutnya dilakukan para pekerja di UP tersebut. Di sini, petani akan dikenakan retribusi Rp1.700 untuk setiap kilogram biji kopi OC . Lantas untuk jasa penjualan melalui koperasi, ditarik Rp100 per kilogramnya. Para petani tidak keberatan lantaran UP maupun koperasi itu milik mereka sendiri. (bs-Wasti/Denpasar-MIU)