Makassar, Inspirasimakassar.com:
Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan melakukan pemutihan pajak kendaraan bermotor, dinilai sejumlah kalangan sebagai tindakan tidak bijaksana dan diskriminatif terhadap rakyat, khususnya pemilik kendaraan bermotor.
Penilaian itu merujuk pada SK Gubernur Sulsel No 2211/IX/Tahun 2020 yang mengatur tentang pembebasan denda PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) Januari – Desember 2020.
SK itu juga menyebut pembebasan seluruh denda PKB untuk, kendaraan bermotor tahun 2010 ke bawah, kendaraan bermotor dengan nilai jual Rp 150 juta ke bawah (sesuai pergub), kendaraan bermotor proses BBNKB II dan seterusnya, kendaraan bermotor angkutan barang dan angkutan umum, kendaraan bermotor mutasi masuk dan keluar antar kabupaten kota se Sulsel.
Dalam SK itu diatur pula pembebasan tarif PKB progresif untuk kendaraan bermotor angkutan barang dan angkutan umum orang, serta kendaraan bermotor proses BBNKB (atas tunggakan dari pemilik sebelumnya dan atas keterlambatan lapor jual).
Khusus poin yang pemutihan pajak atau tunggakan kendaraan bermotor yang harga jualnya di bawah Rp 150 juta. Sementara kendaran yang harga jualnya di atas Rp 150 juta tidak mendapat keringanan.
Seorang pelanggan Samsat mengatakan, “Gubernur seharusnya berlaku adil mengeluarkan kebijakan, jangan karena mengejar uang receh sehingga mengabaikan rakyat yang lain.”
Dikatakan, pembantu gubernur dalam hal pajak kendaraan, khususnya Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulsel, yang menggodok SK Gubernur Sulsel memberi informasi yang detail kepada gubernur, khususnya payung hukum yang digunakan dalam membuat kebijakan.
“Itu perlu dilakukan agar tidak muncul kebijakan yang tidak bijaksana dan justru melukai rasa keadilan rakyat,” katanya, pada Kamis, 12 November 2020.
Salah satu kekurangan pada SK Gubernur tersebut adalah alasan yang digunakan dalam membuat kebijakan pemutihan pajak yang berlaku September hingga Desember 2020 itu, adalah penetapan patokan harga mobil.
Kalau pun misalnya harga mobil yang dijadikan acuan maka yang harus dilakukan adalah nilai jual kendaraan bermotor (NJKB) yang menjadi objek pajak. Bukan harga jual pasaran karena akan terjadi disparitas harga yang cukup signifikan.
Sumber lain yang memahami soal pajak kendaraan bermotor mengatakan, jika ditelisik lebih jauh, SK Gubernur itu cenderung menabrak SK Mendagri No 8 Tahun 2020 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2020.
Begitu pula Undang-Undang No 28 Tahun 2009, khususnya pasal 5 yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Di situ disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor adalah perkalian dari 2 unsur pokok yakni nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat kendaraan bermotor.
Disebutkan juga, jika ingin memberi insentif kepada pelanggan Samsat (wajib pajak kendaraan bermotor) maka yang paling layak mendapatkannya adalah mereka yang taat atau patuh membayar pajak. Bukan yang membandel atau menunggak pajak dengan alasan apapun. (jw)