Konsespi fundamental dari Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabatnya sebagai manusia. Konsepsi isi membuat status apapun, termasuk HIV positif dan status lainnya menjadi sangat tidak relevan secara ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik. Perlakukan yang sama ini menjadi pijakan bagi pemerintah –eksekutif dan legislatif dan siapa pun untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-haknya sebagai manusia dan warga Negara Indonesia.
Peringatan The Inteternational AIDS Candlelight Memorial (IACM )yang dilakukan oleh Aliansi HAM untuk AIDS SulSel/Bar merupakan medium menggalang dukungan dan solidaritas terhadap Inklusi dengan HIV+ berserta keluarga serta medium kontemplasi-refleksi atas perjalanan pergerakan HAM untuk pembelaan dan perlindungan Inklusi dengan jaminan hukum. Sejak 2009, peringatan IACM selalu mencacat berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh Inklusi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) berserta keluarganya. Selain itu, peringatan IACM sering dilaksankan ditengah-tengah lahirnya produk kebijakan yang cendrung mengancam hilangnya nyawa, mendsikriminasi dan mengkriminalisasi Inklusi, termasuk perempuan dan anak. Produk kebijakan yang belum sepenuhnya menghormati hak dan martabat itu lah yang membuat Inklusi mengalami berbagai bentuk ketidakalian.
Ketidakadilan sesungguhnya adalah. Padahal pasca reformasi, pemajuan HAM telah diakomodasi dalam konsitusi Indonesia dan dijadikan acuan bagi pembuatan produk perundang-undangan dan kebijakan publik lainnya. Sayangnya, HAM masih cendrung diatas tektual kertas dan Penyelenggaran Pemerintahan yang demokratis, tranparansi, dan akuntabel, termasuk sektor kesehatan-HIV hanya sebuah ilusi. Bahkan, ditengah derasnya arus gerakan masyarakat sipil untuk melakukan berbagai upaya perlindungan hak-hak Inklusi dengan jaminana hukum, tetapi pemerintah –eksekutif dan legislatif yang punya kewajiban tersebut justru pasif –kondisi yang ditenggarai membuat Inklusi memiliki posisi lemah secara ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik.
Sejak tahun 2010, Aliansi HAM untuk HIV dan AIDS melakukan gerakan untuk untuk mendorong proses revisi dan/pencabutan Peraturan Daerah Sulawesi Selatan No.4 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, karena dinilai diskriminatif dan mengkriminalisasi Inklusi, termasuk perempuan, anak, dan kelompok rentan dengan dan/yang rentan HIV dan AIDS. Dalam tiga (3) tahun terakhir, serangkaian pertemuan formal dan informal bersama pemerintah terkait perda tersebut, termasuk janji dan niat yang menyertai pertemuan tersebut untuk mulai memproses dan membahas perda tersebut dalam tahun anggaran 2016 sesuai dengan keinginan masyarakat sipil. Faktanya, jangankan membahas, mewacanakannya pun tidak pernah. Kami menilai pemerintah tidak benar-benar serius untuk mempercepat perlindungan hak-hak Inklusi dan masyarakat secara luas dengan jaminan hukum, artinya Pemerintah Gagal Melindungi Hak-Hak Masyarakat dari Bahaya HIV.
Berbagai peraturan dan kesepakan, termasuk Fakta-fakta empirik, termasuk perlakukan salah terhahap Anak HIV+ dan yang rentan HIV akibat kekerasan sekual ternyata belum cukup mampu menggerakan pemerintah untuk melakukan kewajibannya. Selian itu, May 2016, kasus perlakuan salah dan diskriminatif terhadap Inklusi ODHA dan keluarganya masih terjadi dan dilakukan oleh oknum pejabat publik –ketua Komisi Penanggulangan AIDS Tanah Toraja Utara. Kasus ini memberikan kita bacaan, bahwa kasus kumulatif HIV dan AIDS ±9.000 tahun 2016 yang seharusnya dapat memberi arti bagi kita atas situasi yang terjadi, ternyata belum mampu memberi arti bagi oknum tersebut. Arti lainnya, +bahwa alih-alih aktif dalam menjalankan kewajiban dan role model keberpihakan, justru dirinya menjadi pelaku ketidakadilan.
Ketidakadilan lainnya, penegakan hukum dan/pembelaan (=startegi gender) belum menjadi kebijakan yang terintegrasi dengan kebutuhan pisisk gender. Penelusuran laporan Penanggulangan HIV dan AIDS melalui biro Bina Napza HIV dan AIDS Prov.SulSel terungkap, bahwa SulSel telah mengarah ke general epidemic, karena telah ditemukan kasus pada ibu rumah tangga dan anak. Ironisnya, poin Responsif Gender yang ada dalam pernyataan Visi Renstrada 2013-2018, ditingkatan manefestasinya belum mampu merespon situasi ini. Selain itu, pemerintah belum melakukan transparansi publik anggaran kebijakan HIV di SulSel baik yang bersumber dari APBD/N, CSR, dan International Donor Agency secara rutin yang dapat diakses oleh publik secara terbuka dan mudah. Kondisi ini bertemu dengan lemahnya mekanisme koordinasi antar SKPD potensial terkait.
Bagi Aliansi HAM untuk AIDS SulSel/Bar, STATUS APAPUN yang dipilih dan dimiliki individu dan/ kelompok BUKAN PENYEBAB ORANG TERINFEKSI HIV, tetapi perlakuan diskriminatif dan keinginan politik pemerintah yang rendah dalam melindungi hak-hak rakyatnya lah yang membuat mereka terinfeksi dan/ semangkin rentan terhadap HIV dan STATUS HIV+ bukan sebuah ancaman kesakitan dan/kematian serta rendahnya kwalitas dan/harapan hidup ODHA, tetapi lemahnya jaminan hukum lah yang membuat mereka rentan mengalami ancaman tersebut.
Pandangan yang lahir dari kontemplasi pengalaman pergerakan tersebut seterusnya membentuk sikap yang juga menjadi tuntutan Aliansi HAM untuk AIDS SulSel/Bar terhadap beberapa justifikasi yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Daerah, teramasuk kabupaten/kota di SulSel. Untuk itu kami meminta dukungan rakyat SulSel untuk bersama-sama menuntut dan mendesak lembaga tersebut untuk segera melakukan:
1. Tutut tuntas berbagi bentuk pelanggaran terhadap Inklusi Orang Dengan dan Yang rentan HIV.
2. Mendukung Penuh Gerakan Advokasi Masyarakat Sipil Tanah Toraja untuk mendesak Bupati Tanah Toraja Utara untuk segera MEMBERHENTIKAN Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tanah Toraja Utara atas Perlakuan Diskriminatif dan Perlakuan Salahnya terhadap ODHA meninggal dan Keluarganya.
3. DPRD Prov. SulSel segera merevisi dan/mencabut perda SulSel No.4 tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS SulSel dalam perspektif HAM dan Gender dengan pelibatan aktif-substantif Inklusi Orang Dengan dan Yang Rentan HIV disemua tahapan proses.
4. ODHA Perempuan, Anak, kelompok rentan lain serta isu HIV dan AIDS harus menjadi pengarusutamaan dalam semua dokumen pembangunan manusia di Sulawesi Selatan
5. Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah baik yang terkait langsung dan/memiliki hubungan dengan HIV dan AIDS, pemerintah harus transparansi dan akuntabel, termasuk keterbukaan sinformasi publik terkait kerja sama dengan non-state actors dan bantuan dari kelembagaan luar negeri.
6. Dalam setiap Penyelenggaraan Kegiatan HIV dan AIDS, pemerintah harus membangun sinergi dan melakukan koordinasi antar SKPD terkait, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Anak, dan elemen masyarakat lainnya untuk membangun system perlindungan Masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dalam konstruksi HAM dan Gender.
7. Mendukung penuh semua aksi para pihak untuk memperjuangkan kondisi penguatan hukum dan pengembangan Hak Asasi Manusia yang non diskriminatif dan adil Gender, serta berbagai upaya penyelamatan nyawa manusia dan anti penyiksaan, termasuk Menolak Hukuman Mati, Kebiri, dan Implant Microcief.
(Global Inklusi untuk Perlindungan AIDS (GIPA) –
Advocacy Human Rights & Justice for AIDS
Sekretariat:
BTN Paccerakkang Permai Block C3 No.5, Daya
Makassar 90241
Telephone:+62 411 5421814)