Makassar, Inspirasimakassar.com:
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota Makassar kembali mengkritisi fenomena sosial yang melanda Kota Makassar terkait dengan makin maraknya kelompok pengemis dan permintaan sumbangan bencana alam oleh komunitas atau semacamnya di perempatan lampu merah dan tempat-tempat publik lainnya.
Fenomena ini memunculkan pro-kontra karena sudah ada perda yang mengatur penanganan anak jalanan dan pengemis yang tidak memperbolehkan memberi uang atau sedekah di jalan umum yang dapat mengganggu ketertiban umum dan lalu lintas sementara di pihak lain masih banyak warga masyarakat ingin berbagi langsung atas dasar keikhlasan.
Terkait dengan problema sosial tersebut di atas Komisi Penelitian dan Pangkajian MUI Makassar menggelar diskusi publik dengan tetap mematuhi protokoler Kesehatan Covid-19 dengan membatasi jumlah peserta, mengatur jarak, dan wajib mengenakan masker, menghadirkan tiga narasumber yang sangat berkompoten dengan topik bahasan, masing-masing H. Muhyiddin, SE, MM, (Sekretaris Dinas Sosial Kota Makassar), Prof. Dr. Hamdar Ar-Rayya,MA., (peneliti senior Litbang Kemenag Makassar), dan Dr. Ihsan Darwis (pemerhati sosial), Selasa (12/10/2021), di Hotel Agraha Jalan Andalas.
Diskusi publik yang dibuka resmi Ketua MUI Makassar Anregurutta Dr.KH. Baharuddin AS.,MA. dan diikuti sekitar 50 peserta dari berbagai kalangan tokoh masyarakat, ulama, organisasi keagamaan, dan aktifis LSM, mengkhusukan bahasan kajian paradigmatic terhadap fenomena pengemis. Turut hadir dalam acara ini Sekretaris MUI Drs. KH. Masykur Yusuf, M.Ag. dan Bendahara Drs. HM. Yunus, MS.
Dalam sambutannya Kiai Baharuddin mengakui, ada kecendrungan yang begitu tampak jelas di tengah masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 setahun terakhir ini, yaitu makin maraknya pengemis di perempatan jalan, terutama di lampu merah, yang bukan saja mengganggu lalu lintas dan pemilik kendaraan roda empat, tapi juga tak kalah bahayanya jika fenomena pengemis di tempat umum tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan lembaga keagamaan bisa memunculkan ledakan sosial yang cukup merepotkan di kemudian hari.
“Jumlah pengemis ini makin hari makin banyak dan cara mengemisnya juga beragam dan kesannya ada pihak yang mengkoordinir secaa massif. Ada diantaranya, mengeksplotasi balita dan anak usia sekolah, ada pula yang menggunakan lap bulu, jual tissue, dan bahkan ada anak yang menghapal ayat-ayat pendek Al Qur’an. Yang tak kalah menariknya adalah kotak dos yang digunakan mengemis ditulisi sedekah dan pesan-pesan agama,” ungkap Kiai Baharuddin.
Ketua Panitia Dr. KH. Afifuddin Haritsah, Lc.,MA. mengatakan, diskusi publik yang digelar komisinya bertujuan mengkaji problema sosial yang sekalipun dilatari hasil penelitian tapi tidak serupa betul dengan kajian akademik karena diharapkan pertemuan ini menghasilkan rumusan yang dapat diaplikasikan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah di dalam membuat kebijakan penanganan kemiskinan, terutama hubungannya dengan Perda No 2/2008 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen.
Menurut Kiai Afifuddin, dalam Al Qur’an dan hadis Nabi sungguh banyak menjelaskan persoalan kemiskinan dan kewajiban menolongnya. Sementara konsekwensi sebuah kota besar persoalan kemiskinan tidak bisa dituntaskan tanpa menyentuh akarnya. Makin tinggi kemiskinan makin bertambah banyak pula pengemis. Pertanyaannya adalah bagaimana perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pengemis selama ini.
“Salah satu ayat dalam Al-Qur’an dengan tegas menyatakan dilarang membiarkan orang miskin kelaparan. Sementara ada kebijakan yang melarang memberi makan orang lapar di sembarangan tempat, terutama di tempat-tempat umum. Disinilah kita perlu merumuskan secara konprehensif agar kita tidak terjebak dalam kajian yang tidak menyentuh akar sesungguhnya dari problema pengemis, gelandangan, dan anak jalanan,” ungkap Dekan Fakultas Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Makassar Al-Gazali.
Sekretaris Dinas Sosial H. Muhyiddin, SE, MM, dalam urainnya mengakui, dalam menangani pengemis di tempat-tempat yang dapat mengganggu ketertiban umum memang sangat dibutuhkan dukungan semua pihak dan elemen masyarakat, terutama pihak MUI yang dapat mendorong pemerintah mengeluarkan perwali melalui kekuatan fatwa yang ditetapkan secara legalitas.
Diakui Muhyiddin, sebetulnya Perda No 2/2008 itu bukan melarang memberi sedekah atau makanan kepada pengemis, tapi yang dilarang dan bahkan sudah ada sanksi hukumnya adalah bila seseorang memberi uang atau makanan kepada pengemis di tempat-tempat yang dilarang karena dapat mengganggu ketertiban umum, atau jika di lampu merah bisa saja suatu waktu mengganggu lalulintas dan menyebabkan kecelakaan.
“Jadi tidak dilarang memberi tapia da tempatnya. Sering memang ada ibu-ibu keberatan karena niatnya ikhlas namun dilarang. Padahal kita minta supaya disalurkan ke panti atau Lembaga resmi saja,” ungkapnya.
Muhyidin juga mengakui, fenomena lain yang sekarang banyak ditemukan adalah munculnya kelompok yang mengatasnamakan LSM atau komunitas yang meminta sumbangan jika terjadi bencana banjir dan kebakaran.
“Ini juga tidak jelas pertanggung jawaban keuangan, pembukuan, dan penyalurannya. Kita memang perlu bekerjasama di dalam menegakkan Perda tersebut,” pintanya.
HM. Yunus, Bendahara MUI yang juga anggota DPRD Kota Makassar merespon sejumlah rancangan fatwa yang akan ditetapkan sebagai fatwa MUI dengan tegas, bahwa sebetulnya Perda itu sudah cukup bagus dan sudah dilaksanakan dengan tegas 10 tahun lebih. Hanya sekarang, setidaknya setahun terakhir ini di tengah pandemi Covid-19 kesannya pemerintah kota tidak tegas memperlakukan. (Jurlan Em Saho’as).