BELAKANGAN ini kata “Bersih kala pasang, kotor kala surut” menjadi gambaran yang pantas untuk daerah pesisir, sarkas memang. Kenyaatannya, pesisir masih dijadikan tempat sampah alternatif masyarakat, dibuktikan oleh hasil riset Jenna J Jambeck dari Universitas Georgia (2010) yang menyebutkan Indonesia adalah negara di urutan kedua dengan penghasil sampah laut jenis plastik terbanyak di dunia. Juga menurut catatan World Population Review, sampah plastik di laut Indonesia mencapai 56 ribu ton pada tahun 2021.
Spektakuler, tentunya sampah-sampah tersebut berasal dari pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut, pesisir seakan menjadi jalan pencemaran dan pembuangan. Ombak yang seakan menjadi penanda bahwa laut mengamuk akan sampah, sehingga sampah tersebut akan terbawa oleh ombak dan mengotori kembali daerah pesisir.
Hukum tabur tuai. Tentu saja yang menyumbang sampah di daerah pesisir adalah masyarakat pesisir itu sendiri. Pesisir yang merupakan daerah peralihan antara darat dan laut masih terpengaruh oleh aktivitas yang ada di daratan, pesisir dengan ekosistem yang beragam juga menjadi daerah yang sangat produktif, karena itulah wilayah dan kelestarianpesisir rmasih sangat dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang bermukim di sana. Penulis menganggap bahwa kelestarian daerah pesisir tergantung dari kondisi masyarakatnya, apakah memiliki kesadaran dan wawasan tentang pengelolaan lingkungan atau tidak.
Siapa masyarakat pesisir? Masyarakat pesisir kelompok individu yang bermukim di daerah pesisir, beradaptasi, dan merupakan komponen dari ekosistem peisisir itu sendiri. Kemudian, masyarakat pesisir adalah sekelompok manusia yang bermata pencaharian kebanyakan sebagai Nelayan dan hidupnya bergantung pada sumber daya dari daerah pesisir, seperti ikan, garam, dan rumput laut.
Masyarakat pesisir sejatinya harus memiliki wawasan tentang pengelolaan sampah dan lingkungan. Namun seribu sayang, beberapa masyarakat masih terlalu awam untuk masalah-masalah pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan sampah. Nyatanya masih banyak masyarakat yang masih belum menjaga kelestarian dari daerah pesisir. Masih banyak diantara mereka yang membuang sampah di daerah sekitaran peisisr yang menyebabkan tak eloknya pemandangan hingga rusaknya ekosistem di daerah pesisir.
Penulis kembali beranggapan bahwa sebenarnya terkadang juga masyarakat memang sudah memiliki wawasan atau pengetahuan tentang lingkungan, namun kesadaran untuk melestarikan atau menjaga itu yang rendah, disebut sikap acuh tak acuh yang ditunjukkan.Miris memang. Sampah yang mereka buang nyatanya akan kembali terbawa ke permukaan atau akan termakan oleh biota laut. Di darat saja sampah sulit terurai, dibutuhkan waktu 450 Tahun lamanya sampah plastik dapat terurai di tanah, apalagi di lautan yang tidak ada mikroorganisme atau jamur seperti di tanah yang dapat menguraikan sampah.
Sayang seribu sayang, Indonesia yang didominasi oleh daerah pesisir luas, salah satunya Makassar, Sulawesi Selatan dijadikan kesempatan oleh masyarakat untuk menjadi tempat pembuangan, lebih miris lagi di daerah perkampungan yang terletak di wilayah pesisir, masyarakatnya bahkan menjadikan pesisir sebagai tempat pembuangan akhir dengan berbagai jenis sampah, apakah kita peduli akan kebersihan dan kelestariannya? Apakah sampah plastik air mineral adalah balasan kita atas ikan-ikan yang didapatkan dari daerah pesisir? Apakah limbah minyak, rumah tangga, dan industri adalah balasan kita atas air nan berkualitas yang digunakan untuk membuat garam? Nyatanya pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebuah fakta yang sejalan dengan Penelitian dari Universitas California, Davis yang dilakukan di Pasar Paotere Makassar, menunjukkan sebesar 23% sampel ikan yang diambil memiliki kandungan plastik di perutnya.
Indah memanglah indah dikala kita memandang pesisir pantai dan lautan Indonesia, apalagi sekarang daerah pesisir dipoles menjadi tempat wisata yang mendatangkan banyak orang dari luar daerah misalnya perkotaan atau bahkan pelancong dari luar negeri. Banyaknya pengunjung yang berasal dari beberapa daerah tentu saja menjadikan sumber sampah atau sumber pencemar bertambah di daerah pesisir menjadi bukan masyarakat lokal saja, melainkan pendatang pun menjadi sumber pencemar, mereka yang berasal dari daerah lain misalnya daerah perkotaan yang memang juga tidak peduli akan lingkungan, akan ikut andil sebagai penyumbang sampah di daerah pesisir. Ini menjadi masalah yang baru dan tentu saja memperparah kondisi lingkungan atau ekosistem di daerah pesisir.
Lautan katanya adalah kolam susu karena kekayaanlaut yang melimpah, akankah bertahan dan bisa dinikmati hingga generasi anak cucu kita? Akankah pesisir atau lautan masih menjadi kolam susu atau akan menjadi kolam sampah, dan bahkan sumber daya laut yang disediakan perlahan-lahan semakin berkurang, tak hanya spesies yang ada di laut atau pesisir yang terancam teteapi juga bebeberapa spesies burung.
Sejalan dengan data penelitian dari Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity),pada Tahun 2016 bahwa smpah lautaan yang bersumber dari pesisir telah mengancam dan membahayakan sekitar 800 spesies yang 40% nya adalah mamalia laut dan 44% lainnya adalah spesies burung yang hidup di ekosistem laut atau mencari makanan di laut, biota-biota laut yang juga terancam karena sampah plastik berdasarkan data dari Konferensi PBB New YorkTahun 2017, termasuk telah membunuh ribuan mamalia laut, kura-kura, bahkan ikan-ikan dalam jumlah besar.
Hal ini tentu saja sangat merugikan untuk masyarakat kita sendiri yang memang kehidupan dan mata pencaharian kita bergantung pada lautan, apalagi masyarakat daerah pesisir, generasi-generasi selanjutnya juga dapat terancam tak dapat menikmati hasil laut atau tak dapat melihat beberapa spesies biota laut seperti penyu belimbing yang keberadaannya sudah terancam punah.
Salah-satu contoh daerah di Indonesia yang juga terdapat banyak tempat wisata adalah Sulawesi Selatan, yang memang wilayahnya juga didominasi oleh pesisir atau perairan, ada beberapa wisata pesisir atau pantai yang cukup terkenal di kalangan masayarakat Makassar, yaitu Pantai Losari. Pantai Losari yang kita lihat sekarang ternyata sudah jauh berbeda dengan yang dulu, baik dari segi pengelolaannya, penataannya, hingga lingkungannya.
Proses revitalisasi yang menghidupkan kembali suasana icon kota Makassar ini, berbagai spot-spot yang menarik perhatian mendatangkan cukup banyak wisatawan dan pedagang yang memenuhi tiap sudut-sudut pantai losari, serta pembuangan sampah atau limbah rumah tangga oleh masyarakat yang ada di sekitar pantai menyebabkan kondisi lingkungan yang ada di daerah pesisir pantai losari sudah cukup tercemar.
Berbagai jenis sampah terlihat mengapung di perairan dan kondisi air yang sudah agak keruh bahkan kadang menimbulkan bau yang kurang sedap, menandakan sudah terjadi pencemaran di daerah ini, contohnya seperti pembuangan sampah rumah tangga dari masyarakat sekitar pada kanal-kanal yang menuju anjungan Pantai Losari. Tentunya lagi-lagi disebabkan oleh masyarakat yang kurang berwawasan dan minim kesadaran.
Fakta tersebut sejalan dengan hasil Penelitian Penulis (Salma Samputri, 2020), ditemukan informasi dari beberapa responden yang kemudian disimpulkan bahwa Makassar masih dalam kategori sedang untuk kategori Pengetahuan Tentang Ekosistem, yaitu sebanyak 85 responden (57%), sebanyak 74 responden (49%) Pengetahuan Tentang Pencemaran pada masyarakat pesisir di Kota Makassar, sebanyak 73 responden (49%) Sikap terhadap Kepedulian terhadap lingkungan di wilayah pesisir Kota Makassar, sebanyak 81 responden (54%), dan Perilaku Peduli Lingkungan di kota Makassar, termasuk dalam kategori sedang dengan jumlah 86 responden (57%).
Jadi, perilaku dan wawasan masyarakat Makassar yang kesemuanya masih dalam kategori sedang ini diharapkan bisa ditingkatkan terlebih pada kesadaran akan berwawasan lingkungan dan bagaimana menerapkan perilaku lingkungan dalam sehari-hari.
Beberapa lokasi pesisirlain yang ada di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Takalar, salah satu Kabupaten yang jaraknya 35 km dari kota Makassar, atau dapat ditempuh kurang lebih 1-2 jam, juga banyak terdapat atau bahkan didominasi oleh wilayah pesisir dan pantai. Contohnya, Pantai Galesong, Pantai Baruga Punaga dan Pantai Topejawa Takalar.
Ada menarik perhatian dari beberapa daerah pesisir ini adalah Pantai Topejawa karena memang daerah tersebut dahulunya adalah kawasan pesisir pantai yang benar-benar belum tercemar, daerah tersebut adalah daerah perkampungan, dimana pesisir pantai tersebut dahulunya memang hanya dimanfaatkan masyarakat di sana untuk mencari sumber makanan dari laut seperti ikan dan kerang, dari daerah yang sebelumnya hanya nampak perahu-perahu dari Nelayan di sekitar pesisir.
Namun, berbeda penampakan jika kita melihat daerah itu sekarang, setelah menjadi tempat wisata dengan pengelolaan yang kurang baik dari masyarakat setempat maupun pendatang mengakibatkan kawasan itu dipenuhi dengan berbagai sampah, mulai dari sampah konsumsi yang disumbang oleh wisatawan, sampah rumah tangga dari beberapa masyarakat yang mencari pendapatan dengan berjualan di sana.
Ditambah lagi belum ada kebijakan pengelolaan sampah dari pemerintah setempat yang semakin memperparah pencemaran di daerah sana, bahkan ketika air sedang surut nampak sampah-sampah yang berserakan di sekitar bibir pantai, yang tentu saja merusak keindahan alami dari daerah ini, kadang-kadang juga beberapa kail dan jaring dari nelayan mendapati adanya sampah seperti botol plasik dan sandal jepit yang tersangkut pada jaring atau jala mereka.
Sampah yang berdampak pada kelestarian biota laut dan keindahan pemandangan pada daerah pesisir ternyata tidak hanya menimbulkan hal negatif pada daerah yang memang masyarakatnya membuang sampah di daerah pesisir, tetapi juga berdampak pada wilayah pesisir sekitarnya.
Sampah terbawa oleh ombak dan arus laut, yang kita ketahui sendiri wilayah laut Sulawesi cukup luas dan terdiri dari beberapa pulau-pulau kecil. Tentu saja apa yang dibuang ke laut atau ke pesisir, bukan hanya berkumpul atau menumpuk di satu arah atau tempat, tetapi menyebar ke beberapa pesisir hingga ke bibir pantai wilayah lain.
Jadi, jika kita membuang sampah di pesisir suatu wilayah dan terbawa oleh ombak, sampah tersebut tidak hanya kembali ke pesisir tempat kita membuang sampah, tetapi pasti juga beberapa akan terbawa ke daerah pesisir lain atau pulau yang dekat dengan sumber kita membuang sampah dengan kata lain sampah kiriman, sehingga hal negatif yang ditimbulkan bukan hanya untuk masyarakat pesisir penyumbang sampah. Ini tentunya menjadi dampak yang semakin merugikan banyak pihak.
Upaya menjaga kelestarian pesisir memang adalah tanggung jawab masayarakat di sekitar pesisir, namun untuk menjaga lingkunganitu menjadi tanggung jawab bersama. Sampah memang sudah menjadi masalah yang mengglobal dan berkelanjutan, walaupun kita tidak bisa menghapuskan masalah sampah, kita masih bisa mempertahankan kelestarian yang masih terjaga hingga sekarang.
Penulis menganggap solusi yang tepat adalah hanya pada kesadaran dan tindakan nyata yang diperlukan sebagai dedikasi, kerjasama, dan kepedulian dari semua pihak, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab seluruh masayarakat, bahkan semua umat manusia, harus bertanggung jawab atas lingkungan pemberian Tuhan untuk kemaslahatan. (Penulis adalah, Dosen IPA FMIPA UNM Makassar dan Peneliti Lingkungan)