Dulu, saya ke Negeri Kulur dengan teman-teman sepermainan di kampung atau biasa disebut negeri Siri Sori Islam. Sesekali, kami berpasang-pasangan usai hari raya Idul Fitri. Hanya saja, kami tidak ke goa yang satu ini. Goa Tujuh Puteri nama goa ini. Kami hanya duduk di bibir pantai sambil bersenda gurau. Setelah itu, kembali ke Siri Sori Islam.
Sebelum kami ke goa ini, terlebih dulu ke pantai indah. Putih Lessi, nama pantai ini. Pemandangannya indah. Airnya tenang. Pasirnya putih mengkilat. Di bibir pantai ini banyak pepohonan. Kelapa dan lainnya. Dari kejauhan terlihat berbagai jenis kapal besar dan kecil berlalu lalang. Tak jauh dari pantai ini, terdapat Pelabuhan Fery menuju Pulau Seram, maupun pulau Ambon.
Secara tak sengaja saya bertemu keluarga (dari keluaga besar Tuhepali). Ada kakak Apu Holle bersama adiknya Lik Holle. Ada pula ponaan diantaranya Nia Holle. Cantik orangnya. Rambutnya pirang. Kulitnya putih, berkaca mata. Tak lupa saya membidik setiap momen di pantai ini (tentunya akan disajikan dalam catatan lain). Kami sempat mendapat sejumlah kelapa kering.
Sekalipun hujan, dan waktu telah menunjukan pukul 18.00 WIT, namun saya mengajak keluarga untuk tetap mendatangi goa tujuh puteri ini. Kami melewati lorong kecil. Di sisi kiri dan kanan, kaki diganggu berbagai jenis pepohonan kecil. Jalanan licin. Jaraknya sekitaran 300-an meter dari mata jalan. Kami tetap melangkahkan kaki, hingga tiba.
Disekitaran goa, mulai terlihat gelap. Namun, istri saya, ama kaplale dan dua anak saya (syasa diarani yahma pattisausiwa dan Muhammad Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa) bersama ponaan aya, ita, ama assagaf, dan lainnya kami masuk goa. Bebatuan disini lincin dan berada pada kemiringan.
Airnya bening. Jernih. Bebatuan kecil dibawah dasar air terlihat jelas.Fairus Pelupessy, cucu saya langsung melompat dari satu batu ke batu lainnya. Dia mengikuti kemana Aya berenang. Sesekali, Aya tinggi suara, saat memarahi Fairus.
Mengapa tempat ini disebut goa tujuh puteri? Konon dulu kala, di tempat permandian ini setidaknya ada tujuh puteri pernah mandi disni. Di setiap kolam dipisahkan dinding batu, untuk satu putri. Di lokasi ini juga terlihat bebatuan berpostur seorang puteri telanjang.
Setelah puas mandi, kami melanjutkan perjalanan ke negeri Kulur. Di sini, kami sempat salat magrib di masjid di tak jauh dari pantai. Saat itu hujan deras. Kami sempat mampir di beberapa keluarga, yang berhubungan dengan marga salatalohy yang menikah di desa yang berada di wilayah hukum Kecamatan Saparua, Maluku Tengah ini. (din)