Masohi, Inspirasimakassar.com:
Pelantikan H. Eddy Pattisahusiwa,SE sebagai Raja Negeri Siri Sori Islam, oleh Bupati Maluku Tengah, Abua Tuasikal,SH, Sabtu 27 Januari 2018 lalu memberi angin segar bagi masyarakat di negeri ini. Tidak ketinggalan kaum perempuan. Mereka berharap, Hj.Awies Haeriah– permaisuri atau istri raja menjadi ibu yang baik. Ibu, yang membimbing perempuan-perempuan Siri Sori Islam untuk merangkak, berdiri, berjalan, atau berlari. Sekaligus, membina kelompok-kelompok pengajian, PKK, dan lainnya.
Jika negeri ini mau maju, maka Mama Nyora-sebutan untuk permaisuri raja menjadi pilar. Bagaimana dia berperan secara positif. Setidaknya, membangun komunikasi intensif, dengan teladan dan cinta kasih. Agar, kaum hawa ini mampu membawa keluarganya ke arah yang lebih positif. Utamanya, dapat mendidik anak-anaknya dengan dasar agama.
Dibawah bimbingan ibu tiga orang anak masing-masing Moh Aditya Pattisahusiwa alumni ITB dan S2 di Italia (kini Manager di PT Hush Puppies Indonesia), Rachmat Saleh Fajri Pattisahusiwa,SH (Loyer) kerja di BUMN PT. Timah Tbk, dan Ananda Chaerunissa, S. Ked (Fakultas Kedokeran Univ Negeri Sebelas Maret Solo ini diharapkan kaum perempuan Siri Sori Islam dapat memberdayakan dirinya, dengan cara meningkatkan talenta yang tuhan berikan, agar lebih bermanfaat bagi kemajuan keluarga, dan negeri ini.
Satu harapan dari kaum perempuan adalah, mendidik anak-anak dengan kasih. Dengan kata-kata positif. Jangan mengluarkan kata-kata negatif. Agar anak tumbuh dengan positif dan ceria, percaya diri, penuh ungkapan syukur, dan tidak egois.
Sebenarnya, sejak lama, perempuan Siri Sori Islam sudah tertanam dalam dirinya logika berpikir. Bahkan, ada loncatan pemikiran, hingga ide-ide besar lainnya. Untuk itu, semoga kehadiran Mama Nyora dapat menjembatani keinginan dan ide-ide besar perempuan Siri Sori Islam, agar bisa tersalur dengan baik.
Apalagi, peran ibu di era ini, mempunyai tantangan cukup kompleks. Ditambah lagi pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, menjadi hal menarik untuk mereka menunjukan identitasnya sebagai manusia unggul. Para lelaki, utamanya suami, anak-anak, dan keluarga besarnya, juga lebih bangga memperkenalkan ibunya dengan segudang prestasi. Ketimbang hanya menjadi ibu rumah tangga. Tuntutan dasariah secara intens disetiap napas kehidupan keluarga yang lebih baik. Tetapi, di satu sisi, tarikan dari luar begitu kuat, memaksa mereka mengejawantahkan nila-nilai sesuai tuntutan emansipasi.
Lihat saja, perempuan Siri Sori Islam, sebut saja di Maluku ada yang menjadi pejabat, di antaranya Ir.Habiba Saimima—kini Kepala Dinas Pariwisata Maluku) dan Ely Toisutta yang kini duduk dikursi Wakil Ketua DPRD Kota Ambon). Ada dr.Yati Sanaky yang kini menduduki jabatan Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon. Termasuk sejumlah Doktor di bidang pendidikan.
Padahal, dulu perempuan hanya terkungkung dan berdiam diri di rumah. Masa itu, kaum hawa ini sekadar mengasuh anak-anaknya, dan melayani suami. Bahkan, ada keterikatan dengan nilai-nilai tradisional. Tapi kini, mereka terampil. Cakap. Dan, mendapat perlakuan yang sama. Mereka kini sejajar laki-laki. Mereka aktif. Kritis. Serta, memiliki hak yang sama di semua jenjang. Kebebasan berkarir disemua lini inilah, membangkitkan semangat.
Prestasi perempuan ini, setelah Kartini membumikan kebebasan. Kini mereka kebanyakan berkiprah diluar rumah. Berbagai kesibukan, menjadikan mereka sebagai wanita karir. Ini kebanggaan. Dan, inilah, bukan karena faktor gengsi dan ingin eksis semata. Melainkan, menjawab tantangan di era keterbukaan dan reformasi saat ini.
Tidak salah, jika, Tony Dickensheets, seorang pendidik Amerika, ketika beberapa bulan hidup berpindah-pindah di negeri Sakura, Jepang, tahun 1996. Dia menyimpulkan, kunci kesuksesan keajaiban ekonomi di negara matahari terbit itu adalah, pendidikan yang diberikan ibu.
Dengan pendidikan dan kesempatan berkarir yang tinggi, para perempuan masa depan, memiliki kemungkinan memaksimalkan potensi yang dimiliki. Masa depan, akan bermunculan lebih banyak kaum hawa ini tampil dalam berbagai laga.
Sedangkan, Khalil Gibran mengakui, “Ibu, kata tersejuk yang dilantunkan bibir-bibir manusia. Dan, ibuku, adalah sebutan terindah. Ibu adalah mata air cinta. Kemuliaan. Kebahagiaan. Dan, toleransi. Siapa pun yang kehilangan, dan ketakhadiran ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci, yang senantiasa merestui dan memberkatinya. (din)