Sejak era Yunani sampai detik ini, politik sangat memainkan peran penting dalam perubahan sosial. Terkadang politik dapat membawa situasi sosial ke arah yang lebih progress, namun adakalanya juga ke arah konservatif (terbelakang). Semua itu tergantung sudut pandang (nilai-nilai) politik yang di anut masing-masing individu, yang kemudian mempengaruhi perubahan sosial di kemudian hari
Ada satu aspek yang sangat terkait dengan perubahan sosial yakni proses politik dalam pengambilan keputusan. Setiap individu punya sudut pandang politik tersendiri mengenai proses pengambilan keputusan tersebut. Mulai dari level mikrosistem (keluarga) hingga makrosistem (sosial), semua punya sudut pandang politik tersendiri dalam pengambilan keputusannya.
Misalnya dalam situasi sosial (makrosistem), tanpa disadari kita sering menjumpai proses pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, namun ada juga proses pengambilan keputusannya secara sepihak (otoriter). Dalam perspektif psikologi, seorang teoretikus Kurt Lewin mengatakan bahwa perilaku (“sudut pandang”) individu selalu di pengaruhi dua faktor yaitu person’ (orang-orang sekitar) dan environment’ (lingkungan).
manusia selalu di pengaruhi person dan environment, maka menurut teori Hofstede bahwa wajar jika setiap kelompok masyarakat di berbagai daerah (environment) punya nilai-nilai kultur yang sangat khas dan beragam. Misalnya, daerah Timuran punya nilai-nilai budaya yakni collectivism (kolektif), sedangkan di daerah Barat memiliki nilai-nilai budaya individualism yang khas. Kedua nilai-nilai itu sangat mewarnai sudut pandang politik seseorang dalam pengambilan keputusannya.
Oleh karena itu, jika pengambilan keputusan tidak sesuai dengan sudut pandang politik yang khas tersebut, baik individualism atau collectivism, maka iklim partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial menjadi tidak maksimal. Terkait sudut pandang politik dan iklim partisipasi masyarakat tersebut, maka psikologi politik muncul sebagai Mazhab baru dalam ilmu psikologi untuk menjelaskannya.
psikologi politik ini mencoba menyasar sekaligus mengetahui apa dan bagaimana sudut pandang politik dan iklim partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dalam kesempatan ini saya mencoba memberikan satu perspektif baru mengenai proses perubahan sosial berdasarkan kajian psikologi politik.
PSIKOLOGI POLITIK
Dalam situasi terkini yang di penuhi kompleksitas persoalan, maka sains mencoba memberikan solusi melalui proses integrasi keilmuannya. Salah-satu dari hasil integrasi tersebut ialah lahirnya psikologi politik, yakni pertautan antara ilmu politik dan psikologi. Psikologi politik mencoba memberikan sedikit gambaran baru mengenai proses perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik.
Psikologi politik pertama kali muncul sebagai bidang baru dalam kajian ilmu psikologi sejak berakhirnya Perang Dunia II. McGuire (1993) membagi sejarah kelahiran psikologi politik dalam tiga fase yaitu; (1) Fase 1940 sampai 1950an, saat itu ilmuwan psikologi mulai prihatin dengan patologi perilaku politik dan dampak politik pada kepribadian individu; (2) Fase 1960 sampai 1970an, minat ilmiah lebih terkait perilaku dari para pemilih politik; dan (3) Fase 1980-an sampai awal 1990-an, kajian ilmiah psikologi politik mulai di fokuskan pada kognisi politik dan pengambilan keputusan individu.
McGuire (1993) memprediksi bakal muncul tiga gelombang dalam kajian psikologi politik terkini yakni hubungan antar-kelompok, perubahan sosial, dan kepercayaan ideologis. Belakangan, psikologi politik mulai di gunakan sebagai alat prediktif kemajuan sosial di belahan dunia Barat seperti Amerika dan Eropa, dan belakangan ini juga mulai digunakan di Indonesia seperti yang di perlihatkan oleh Prof. Hamdi Muluk (psikolog politik UI).
Sebagaimana ilmu sosial lainnya, psikologi politik juga memiliki metodologi untuk mengetahui dan menguji perilaku politik individu dalam situasi masyarakat. Beberapa metode seperti survei, penelitian korelasional dan longitudinal, untuk menganalisis dinamika opini publik, nilai-nilai politik, kepercayaan ideologis, serta pengaruh agama-budaya dalam partisipasi politik. Artinya, setelah kita mengetahui hasil penelitian psikologi politik melalui metodenya, maka kita dapat memprediksi serta melakukan sedikit perubahan sosial sesuai ‘zeitgeist’ atau semangat zaman terkini dan masa mendatang.
PSIKOLOGI POLITIK MEMPREDIKSI PERUBAHAN SOSIAL
Ada tiga topik yang sering dikaji dalam psikologi politik yaitu; (1) Individual-level process; (2) Political communication; dan (3) Group-level process. Berikut ini akan saya jelaskan secara detail dan singkat tentang ketiga topik tersebut, serta mencoba menjawab bagaimana proses dari ketiga topik itu memprediksi perubahan sosial di kemudian hari.
Pertama, individual-level process ialah berkaitan dengan perilaku warga dan pemimpin politik. Hal-hal mengenai nilai-nilai dan keyakinan politik sangat mewarnai perilaku politik mereka. Dampaknya ialah kebijakan politik yang di ambil dan di keluarkan, misalnya oleh pemimpin politik, cenderung berlandaskan pada nilai-nilai dan keyakinan politiknya.
Nilai-nilai politik yang di anut pemimpin politik misalnya harus diketahui publik luas, agar kita dapat mengetahui sejauhmana perubahan sosial akan di arahkan olehnya. Tanpa mengetahui nilai-nilai dan keyakinan politik yang di anutnya, maka perubahan sosial muskil di deteksi publik, sehingga perubahan sosial yang terjadi pun akhirnya tanpa arah yang jelas. Oleh sebab itu, diperlukan peran psikologi politik untuk mengetahuinya.
Kedua, political communication ialah berkaitan dengan retorika politik dan gaya komunikasi para elit politik. Gaya komunikasi politik cenderung mengarah pada dua tipe yang harus diketahui publik yaitu; (1) Gaya komunikasi propaganda; dan (2) Gaya komunikasi demokratis. Dengan mengetahui dua gaya komunikasi ini, maka publik dapat mengetahui arah komunikasi sebetulnya untuk perubahan dan kemajuan sosial ataukah mengarah pada keterpurukan sosial di kemudian hari.
Ketiga, group-level process ialah berkaitan dengan isu-isu rasisme, politik identitas, keanekaragaman budaya, dan konflik dalam dinamika kelompok. Ambil contoh, politik identitas misalnya cenderung menguras psikologis masyarakat ke arah negatif, seperti menghasilkan kecemasan publik. Oleh karena itu, denyut politik identitas ini harus diketahui publik sedini mungkin, sehingga upaya-upaya untuk mengatasi hal-hal yang tidak di inginkan bisa teratasi.
Begitu pun dengan konflik dalam dinamika kelompok. Meskipun konflik ini sangat di butuhkan sebagai daya tonjok kesadaran rasionalitas publik ke arah yang lebih baik, namun tanpa manajemen konflik akan menghasilkan situasi yang kurang sehat, sehingga perubahan sosial menjadi stagnan.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, maka dapat dikatakan bahwa psikologi bisa digunakan sebagai alat prediktif perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Namun, belakangan psikologi politik jarang mendapat perhatian sebagai alat prediktif tersebut. Padahal psikologi politik dapat memberikan kontribusi positif sesuai tuntutan zaman terkini.
Sebelum menutup ulasan singkat ini, saya teringat dengan pernyataan Gandhi bahwa “politik tanpa prinsip akan menghasilkan dosa sosial yang sungguh berat dampaknya di kemudian hari”. Artinya, mungkin psikologi politik dapat memberikan sedikit warna untuk mempertegas prinsip politik tersebut
Di samping itu, karena waktu juga terus bergerak maju ke depan, maka berbicara perubahan pasti akan terus terjadi. Artinya, perubahan sosial akan terus terjadi seiring tuntutan zaman (zeitgeist), maka untuk menghindari dosa sosial sebagaimana kata Gandhi di atas, jadi solusinya ialah kita harus sering memperhatikan sekaligus menggunakan peran ilmu pengetahuan yang telah di integrasikan seperti psikologi politik ini. Semoga ulasan singkat ini dapat membuka sedikit wacana dan Saya Akan Menuliskan Dalam Buku Sementara Saya Tulis Kajian Psikologi Pelitik pada Pemilu Tahun 2024 dan pentingnya peran psikologi politik dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik. ( Penulis adalah, Alumni Fakultas Psikologi Universitas 45 / Bosowa Makassar)