Makassar, Inspirasimakassar.com:
Hakim adalah orang yang mumpuni dalam bidangnya. Sekalipun demikian, seorang Hakim tidak semata mengandalkan kepandaiannya memutus perkara. Karena, tuhan telah mengamanahkan kepadanya, menjadi orang yang layak, dan mampu menjalankan amanah yang berat itu. Dari sini, orangpun malah menyebut, Hakim adalah, perpanjangan tangan tuhan, atau wakil tuhan.
Karena itu, menjadi hakim, bukan saja panggilan jiwa yang luhur, tetapi didalamnya ada kemuliaan. Dengan kemuliaan di jabatan hakim itu, diharapkan sejalan dengan label “Yang Mulia” yang melekat pada personalia profesi yang satu ini.
Mulia, selain karena mereka adalah penjaga benteng hukum, dan keadilan, juga karena mereka adalah figur-figur manusiawi yang menjalankan tugas profesinya dengan sangat hati-hati. Profesi ini dijalankan bukan hanya sebagai pekerjaan semata, tetapi karena panggilan jiwa. Profesi ini dijalankan oleh kaum intelektual dengan bergelar sarjana hukum. Yang paling penting, di dalam menjalankan profesinya memerlukan integritas, ketelitian, ketekunan, dedikasi yang tinggi.
Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang satu ini misalnya. Sekalipun masih muda, lahir di Bandung, Jawa Barat, 14 Pebruari 1976, namun telah melanglang buana di berbagai lembaga peradilan di kawasan timur Indonesia. Dia adalah Farid Hidayat Sopamena,SH,MH.
Ditemui di kediaman pribadinya usai Idul Fitri 1443 H, sulung dari empat bersaudara pasangan H.Abbas Sopamena,SH, dan Hj.Ainunu Toisutta ini blak blakan mengungkap mengapa menjatuhkan pilihan berkarir sebagai penegak hukum.
“Ya, tentunya berbanggalah. Saya, tentunya selalu mensyukuri profesi menjadi seorang Hakim. Sebab, banyak diluar sana yang juga kepingin menjadi seorang Hakim, namun tidak kesampaian. Itu karena, Hakim itu adalah manusia pilihan. Makanya, di setiap tarikan nafas, dalam meniti tugas, dan tanggungjawab, harus diniatkan sebagai ibadah,” ujarnya.
Menjawab Inspirasimakassar.com, Farid Hidayat Sopamena mengaku, sejak belia, hingga ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas di Makassar, dia telah meyakini diri, kelak mengikui jejak ayahnya, H.Abbas Sopamena,SH yang berprofesi sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN), termasuk di Pengadilan Tinggi (PT).
“Sebenarnya, saya tertarik dengan kesungguhan bapak dalam bersidang. Dan disaat itu pula, muncul niatan saya kelak mengikuti jejak bapak. Sejak kecil itu pula, saya dan adik adik selalu mengikuti bapak dari satu daerah ke daerah lain. Di situ saya banyak teman,” ujarnya saat mengingat masa lalu.
Karenanya, usai tamat di SMU Hasanuddin Makassar, Farid –sapaan akrab lelaki berdarah Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua Timur, Maluku Tengah ini menjatuhkan pilihan untuk menimba ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, tahun 1995.
Selama lima tahun di kampus UMI, Farid tidak kutu buku. Dia memasuki berbagai organisasi, baik intra, maupun ekstra kampus. Tujuannya hanya satu, melatih, sekaligus mematangkan dirinya agar kelak menjadi seorang pendekar hukum yang piawai.
“Alhamdulillah. Saya bersyukur kepada Allah, lantaran apa yang saya dambakan menjadi sarjana hukum tercapai. Saya diwisudah pada tahun 2000. Dan, tidak lama kemudian, saya mengikuti seleksi Calon Hakim, hingga kemudian dinyatakan lulus dan terangkat pada tahun 2001 menjadi Pegawai Negeri Sipil / Calon Hakim pada Pengadilan Negeri Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan,” ujarnya, seraya mengakui, sambil menunggu menjadi hakim, dia melanjutkan studi S2 pada program Magister Hukum juga di kampus Universitas Muslim Indonesia.
Selama lima tahun sebagai calon hakim, yakni dari 2000 hingga 2005, SK yang ditunggu tunggu pun tiba ditangannya, sebagai hakim. Dalam SK tersebut, untuk pertama kalinya, dia ditempatkan di PN Labuha, Maluku Utara.
Tentunya, ini merupakan sebuah proses yang panjang, tetapi harus dilalui. Sekalipun sebagai hakim pemula, namun Farid dilibatkan dalam berbagai persidangan, bukan saja di PN Labuha, melainkan hingga di Kecamatan Sula di Sanana—Sanana kini menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Sula. Dia bersidang di sana selama 7 bulan.
Menurutnya, sebagai seorang hakim, tentunya harus mengikuti aturan. Misalnya soal mutasi. “Ya wajar saja, seorang hakim dimutasi. Sebab, dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana tertera dalam SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang pola promosi dan mutasi hakim pada empat lingkungan peradilan. Disitu menggariskan minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun hakim biasa tingkat pertama dan minimal 3 tahun, maksimal 4 tahun bagi hakim biasa tingkat banding. Artinya, selama menjadi hakim, maka selama itu pula akan berpindah-pindah tugas, hingga memasuki masa purnabakti,” tuturnya.
Karenanya, Farid mengaku menerima mutasi kemanapun dengan lapang. Itu karena, sejak menjadi hakim tahun 2005, hingga tahun ini (2022) mutasi itu telah dilalui, hingga kesekian kalinya. Mulai dari PN Labuha, di Tual, di Pengadilan Negeri Kotamobagu, di PN Pangkajene dan Kepulauan, hingga kemudian menjadi Hakim Klas IB, sekaligus ketua di PN Maros (ketua PN termuda). Kini hakim di PN Makassar.
Selama berkarir sebagai Hakim, Farid selalu memiliki talenta, dan energik dalam bekerja. Dia pernah juga menjabat sebagai Humas lingkup pengadilan negeri. Baginya, Humas memiliki hubungan kedekatan yang baik dengan teman-teman media. “Bagi saya, tanpa media, orang tentunya tidak akan mengenal pengadilan, ataupun Mahkamah Agung,” tambahnya.
Selama mengabdi sebagai hakim, Farid mengaku menerima tugas apapun yan diberikan pimpinan. Tugas berat pun telah dilalui ketika menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri / Perikanan Tual, dan sebagai Ketua Pengadilan Negeri /Perikanan Tual sekitar 2 tahun. Termasuk, ketika diberi amanah sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pangkajene Sulawesi Selatan, selama 3 tahun. “Tentunya, inilah sebuah tugas negara yang sangat berat diamanahkan kepada saya,” imbuh Farid.
Di sela sela kesibukannya, Farid masih diberi tugas oleh Pimpinan Mahkamah Agung RI. Salah satunya menyidangkan Perkara Tindak Pidana khusus Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar KLas I A Khusus. Berbagai perkara Tindak Pidana Korupsi di Sulawesi Selatan pernah dijalani. Sekalipun berat, namun sebagai abdi negara, Farid selalu mengatakan, apapun tugas, dan seberat apapun itu harus diselesaikan sampai akhir.
Farid mencontohkan, perkara tindak PI dana Korupsi Puskesmas Tahap I Batua Kota Makassar yang melibatkan 13 terdakwapun harus dilalui sebagai Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara ini, termasuk kasus yang mengebohkan Deposito fiktif Bank BNI Cabang Makassar sebesar Rp60 miliar. (din pattisahusiwa)