Tanaman eceng gondok tak selamanya menjadi hama. Di tangan Sambina Alfrina, jenis tanaman air mengapung ini disulap menjadi aneka produk kerajinan tangan. Dengan memberdayakan warga sekitar, Sambina memproduksi tas, vas, bunga, keranjang, pigura foto, hingga karpet. Pelanggannya bukan saja warga sekitar dan dalam negeri, melainkan masuk pasar mancanegara. Omzetnya pun mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Bagi sebagian petani dan nelayan, tanaman eceng gondok kerap menjadi gulma atau hama yang mengganggu lahan pertanian. Akibatnya, tanaman bernama latin Eichhornia crassipes ini bisa mengakibatkan menurunnya jumlah produksi budidaya.
Namun, tak semua orang menilai eceng gondok sebagai tanaman yang bisa membuat ‘gondok’ alias menyebalkan. Di tangan Sambina Alfrina, justru bisa mendatangkan berkah. Tanaman ini diolah menjadi barang perabotan rumahtangga.
Di Desa Walahari, Kecamatan Klari, Karawang, Jawa Barat, Sambina menekuni usaha kerajinan dari eceng gondok bermula dari rasa kepeduliannya terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Di desanya, banyak tanaman eceng gondok menyumbat saluran irigasi pertanian.
Untuk membersihkan irigasi, warga di desanya kerap membuang eceng gondok. Tak ingin hanya jadi limbah tanpa guna, Sambina mulai mempelajari manfaat dan kegunaannya. Kebetulan, Pemerintah Kabupaten Karawang dan PT PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (Sampoerna) pernah mengadakan pelatihan membuat kerajinan dari eceng gondok. Sambina yang awalnya hanya membuka usaha warung kopi, tertarik mengikuti pelatihan tersebut.
Berbekal ilmu pelatihan tersebut, Ina, sapaan akrabnya, memutuskan untuk memanfaatkan eceng gondok jadi peluang usaha. Pada 2013, dengan modal awal Rp1 juta dan dibantu peralatan penunjang dari CSR Sampoerna, dia mendirikan bisnis perkakas. Bendera usahanya Puteri Eceng.
Ina memberdayakan warga sekitar untuk membantu usahanya. Saat ini, dia memiliki delapan karyawan, utamanya ibu rumah tangga dan anak muda. Para ibu rumah tangga bertugas memproduksi kerajinan. Sementara anak muda, mencari eceng gondok di rawa atau saluran irigasi.
Ina kini bisa menghasilkan aneka produk kerajinan. Antara lain, tas, karpet, vas bunga, pigura foto, keranjang, dan suvenir lainnya. Harga yang ditawarkan bervariasi, mulai dari Rp 50.000 untuk tas jinjing kecil hingga Rp 1 juta untuk karpet berukuran 2 meter persegi.
Untuk memproduksi barang kerajinan, Ina bisa menghabiskan 1 kuintal eceng gondok kering. Eceng gondok yang diambil dari rawa, harus dikeringkan dulu dan diperes kandungan airnya. Setelah kering, baru dianyam untuk membuat produk.
Waktu menyelesaikan satu item produk, membutuhkan 1 hari hingga 2 hari. Produk yang pembuatannya agak sulit adalah karpet, karena ukurannya besar dan lebar. Soal kesulitan yang dihadapi, Ina mengatakan tidak ada. Dalam sebulan bisa memproduksi 15 item-20 item produk kerajinan dengan omzet Rp 10 juta.
Saat ini, produknya telah dipasarkan ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, Surabaya, hingga Makassar. Ina juga memiliki showroom di SME Tower Jakarta. Ada juga konsumen dari Jepang yang langganan karpet.
Sejarah tanaman ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius. Dia ahli Botani, berkebangsaan Jerman. Pada tahun 1824 melakukan ekspedisi di sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. (ko-bs)