Inspirasimakassar.com:
Memilih mudik lebih awal tentunya bisa disisihkan mengunjungi saudara, keluarga, sekaligus menapaktilasi masa lalu. Perjalanan kali ini, bersama istri (ama kaplale) dan dua anak, Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa—siswa kelas 3 MAN Negeri 1 Makassar dan Muh.Fauzan Fahriah Pattisahusiwa—siswa kelas 3 SMP Negeri 21 Makassar. Kami meninggalkan Makassar menuju Ambon menggunakan Lion Air, Rabu dinihari (pukul 03,30) 6 Juni 2018. Perjalanan ini dikemas dalam catatan mudik bertutur, secara bersambung.
Tiba di Bandara Pattimura Ambon, kami berempat menuju Tulehu, menggunakan mobil carteran, Avanza warna hitam. Mobil milik warga Hutumuri, sejak Mei lalu sudah saya pesan itu tiba di pelabuhan Mamoking, Tulehu, tepat pukul 08.00. Sebelum ke kampung di Siri Sori Islam, Kecamatan Saparua Timur, terlebih dahulu menyeberang ke Masohi, menggunakan kapal cepat, Expres Priscilia 99. Tiba di pelabuhan Amahai, kami sudah dijemput dengan mobil plat merah yang dikemudikan ponaan Eddy Wattiheluw.
Tujuan ke Masohi, selain berpuasa beberapa hari dengan ibu mertua (Hj.Bea Kaplale-Sopamena), juga untuk bersua dengan keluarga dan sepupu lainnya. Sore hari, kami diundang buka puasa bersama di rumah, salah seorang mertua—Hj.Djo Wattiheluw-Sopamena. Di rumah, yang pernah saya menjalani akad nikah tahun 2001 silam—saat panas-panasnya konflik horizontal Maluku. Akad nikah, tepat pukul 10.00 bertepatan tanggal 14 Juni saat itu, bertepatan dengan pembunuhan sekitar 14 orang di Galunggung, Ambon. Usai akad nikah dilanjutkan resepsi. Dan, sekalipun saat itu kondisi masih “memanas”, namun antar kelompok bertikai memenuhi undangan. Salah satu media harian ternama mengangkat judul “pernikahan rekonsiliasi”. Sebab, seklipun kedua komunitas Islam-Kristen saling beradu, namun yang diudang dari kedua komunitas tersebut hadir. Di resepsi mereka saling bertegur sapa, berangkulan, dan bercengkrama.
Usai shalat Jumat, 8 Juni, saya mengajak Muh.Fauzan untuk jalan-jalan. Kami mengendarai Yamaha Yupiter. Motor milik kakak ipar Basir Pelupessy yang tak lain mantan Kakandepag Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini meminjamkan kendaraan roda dua bernomor polisi 6588 BC itu kepada saya selama di Masohi. Sekitar pukul 15.30 WIT, kami mulai jalan. Perjalanan ini tanpa diketahui keluarga, utamanya istri.
Dari kawasan kampung timur, Kelurahan Namaelo-tempat kami menginap, menuju Baileu Ir.Soekarno. Kemudian menanjak “Jakarta” alias Jalan Karai Atas. Dari puncak ini, saya melihat pemandangan begitu indah. Kamera Nikon D700 pun membidik pelabuhan Amahai dan sesekali mengarah ke Kota Masohi . Sekadar diketahui, kata Masohi berarti Gotong Royong. Penduduk aslinya Suku Alifuru. Namun saat ini, banyak pendatang. Kota ini dibangun pada, 3 November 1957. Peletakan batu pertama oleh presiden Soekarno. Masohi didirikan pada tanah adat negeri Amahai “dataran NAMA” merupakan awal dari sejarah nusa ina, atau pulau Seram.
Kami melanjutkan perjalanan hingga mendapat papan bicara. Arah kanan tertulis, Lapter Amahai, Pelabuhan Amahai dan Masohi. Sedangkan arah kiri tertulis Ruta, Sepa, Tamilouw, Haya dan Tehoru. Kami memilih kiri. Tak jauh dari papa bicara ini, kami melewati sejumlah perkampungan nelayan. Kamera saya percayakan sepenuhnya ke Fauzan untuk membidik. Entah hasilnya bagus atau tidak.
Yang pasti, kami melewati pesisir pantai dengan pemandangan yang tak kalah menarik. Pemandangan wisata bahari yang indah. Desiran ombak, tiupan angin begitu menggoda untuk berlama-lama.Dengan kecepatan kendaraan rata-rata 40-45 km/jam, kami memasuki Desa Iha. Desa ini merupakan wakaf dari Negeri Sepa, setelah negeri asalnya di Saparua porak-poranda akibat konflik 1999. Akibatnya, masyarakatnya mengungsi dan menetap di tanah-tanah dati/petuanan negeri lain seperti Liang, Sepa, Tamilouw dan Luhu.
Dulunya, Iha merupakan kerajaan di Gunung Amaihal, Saparua. Hanya saja, kerajaan ini tidak begitu di kenal, seperti kerajaan-kerajaan Islam lain. Negeri muslim ini memiliki hubungan gandong atau masih bersaudara kandung (satu moyang) dengan negeri tetangga, Ihamahu yang bergama Kristen.
Tak jauh dari Iha, dan saat shalat ashar kami memasuki Negeri Sepa. Di bibir jalan, sebagian penduduknya menjemur biji coklat. Terlihat pula, jamaah shalat ashar bergerombol keluar masjid. Mereka terlihat bersahabat. Ada pula bergandengan tangan.
Negeri Sepa dibangun para datuk sekitar tahun 1001. Nama Sepa diberikan oleh beberapa marga yang ada. Mereka berunding, selain untuk mendudukan negeri dengan peletakan bagian-bagian seperti masjid, rumah raja, rumah kapitan, dan rumah imam. Dalam sejarah Sepa (Lalato) terdapat beberapa petuanan atau anak dusun yaitu Nulutetu (Marihuno), Hatuhenu (Nusataun), dan Nuaulu (Nuahatan). Ketiganya memiliki satu ikatan adat yang kuat dan memiliki hak yang sama.
Negeri ini juga menyimpan sejarah panjang. Utamanya menyangkut asal usul di dataran nusa ina “Huni-huni wae-wae”— suatu zaman, dimana manusia berawal atau sejak zaman air. Hanya saja, sejarah ini belum terkuak. Pasalnya, ada amanat penting yang disimbolisasikan dengan bahasa adat “Uheka Hatu, Hatu Sepei”. Maksudnya, siapa yang membuka sejarah, maka sejaralah yang akan mematikannya. Suatu bentuk kepercayaan ini telah diwariskan tiap anak keturunan raja Negeri Sepa.
Sejak terbentuk Negeri Sepa (Polomahu), hingga saat ini sudah terjadi terjadi 16 kali pelantikan raja. Dalam sejarah Polomahu ini, yang menduduki kursi raja adalah anak keturunan raja, dari marga Amahoru.
Sekitar pukul 17.00, kami memasuki Tamilouw. Sekalipun di Tamilouw ini ada salah satu obyek wisata, yakni Goa Akohi yang terkenal akan ornamen stalaktit dan stalakmit– bebatuan berbentuk kerucut yang terbentuk akibat tetesan air pada dinding goa, namun saya tidak tertarik. Nama Akohi karena Goa ini berada di wilayah marga Akohilo. Sebelum masuk ke Goa yang ditemukan sekitaran tahun 1983 ini, konon pengunjung bakal disuguhi pemandangan pintu masuk goa yang indah dengan bebatuan yang memikat. Ada ratusan deret stalakmit dan stalaktit, seperti pilar, menyerupai gigi buaya. Terlebih lagi, bahwa semua keindahan ini terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia.
Tahun 1996, beberapa ilmuwan dari 7 negara yang berbeda mengadakan penelitian terhadap goa ini, khususnya pada stalakmit dan stalaktit yang menjadi ciri khas Goa Akohi. Para ilmuwan ini menetapkan goa ini sebagai goa alam yang mempunyai jumlah stalakmit dan stalaktit terbanyak di dunia. Bahkan, dari sisi keindahannya, Goa Akohi menempati urutan kedua setelah goa di Perancis.
Di negeri Tamilouw ini, hati saya tak sabaran untuk melihat tempat bersejarah. Hanya saja, saat akan memasuki kawasan Batu Mari, persisnya dekat salah satu jembatan kecil, saya merasakan sesuatu yang lain. Di sini saya penasaran yang semakin tinggi, atas pembicaraan saya dengan saudara saya, Gaos Salatalohy dan istrinya Mar, saat kami bersama dalam perjalanan di Kabupaten Pangkep-Makassar beberapa bulan lalu.
Mendekati jembatan yang dimaksud Gaos Salatalohy dan Mar, saya mulai Gemetar!! Tetapi, mohon maaf, kelanjutan narasi ini tidak saya diutarakan disini. Yang jelas, kendaraan yang saya kemudikan pun terasa lain. Saya kemudian mengingat-ngingat diri. Disini, di tempat ini, ada peristiwa sejarah perjalanan lima datuk……
Saya dan Fauzan kemudian melanjutkan perjalanan. Kali ini, mendaki. Kemudian melewati jalanan yang terlihat mulus. Sekitar 15 menit kemudian kami memasui Dusun Tohai-masih dalam petuanan Tamilouw, saya tiba-tiba teringat Sarifah Lessy. Sekadar diketahui, Sarifah pernah menjaga anak saya Fauzan beberapa tahun di Makassar. Saat itu, Ifa-sapaan Sarifah sedang duduk di salah satu rumah bersama seorang keluarganya. Saya mampir. Karena menggunakan helm berkaca hitam, dia tidak mengenal saya, apalagi anak saya.
Saya mendekati. Ifa bertambah heran. Dia pun beranjak dari tempat duduknya. Dengan hati-hati dia menghampiri. Saya bilang Fauzan membuka helm. Beberapa menit kemudian, baru dia sadar. “”Ohh Fauzan…teriaknya sambil mendekatinya. Ifa memeluknya erat-erat. “Ini beta anak…Beta jaga dia dari bayi…Fauzan, Fauzan, Fauzan, ose su basar..Ayo katong buka puasa di sini saja…Tapi, saya bilang kami mau melanjutkan perjalanan ke Haya. “Nanti kembali dari Haya mau kami mampir”.
Beberapa menit kemudian, kami melewati salah satu desa. Disini saya bertanya apakah Haya masih jauh dari seorang pemuda. Dia bilang, lebih 20 kilometer lagi. Sekitar setengah jam kemudian, saya bertanya lagi kepada sejumlah anak yang ditemui di jalanan. Ketiga anak itu bilang, ini Desa Haya. Saya melanjutkan pertanyaan, apakah ini kampung baru? Mereka menjawab iya. Pertanyaan dilanjutkan “kenal Nyong –orang Siri Sori (anak kakak saya) yang istrinya Wau—orang Haya? Mereka kemudian menunjuk arah ke sekolah inpres. Saya mengikuti arahan anak-anak tersebut. Dan, persis masuk SD Inpres saya bertanya seorang ibu muda. Ternyata dia adalah kakak iparnya ponaan saya tersebut. Dia menujuk rumah bercat biru. Pas di depan rumah saya berteriak, Nyong kaget dan menyambut kami. Tak lama berselang, ponaan saya yang perempuan Firda pun datang.
Sekitar 5 menit sebelum buka puasa, beberapa kali HP saya berdering. Oh, ternyata dari istri. Beberapa kali saya tidak angkat, namun satu menit sebelum buka puasa, telepon berbunyi lagi. Saya angkat, sekaligus menyampaikan kalau saya dan Fauzan di Haya. Istri kaget, seakan tak percaya. Sesekali marah. Tetapi, saya tidak membalas. Istri kemudian berpesan agar hati hati di perjalanan.
Saat beduk magrib terdengar di salah satu masjid, kami pun beramai-ramai menyantap es pisang ijo dan teh panas yang disediakan Wau yang sedang hamil sekitar 7 bulanan. Enak!! Kata Fauzan. Di ruang tamu berukuran kecil, kami pun menghabisi menu yang ada di atas meja. Usai magrib, saya, Fauzan, dan diantar Nyong ke kaka Haya—istri kakak ipar saya-Muhamat Pelupessy (kini almarhum).
Mengapa saya ke kaka Haya? Tidak lain untuk menapaktilasi 35 tahun silam. Saat itu, musim cengkih, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Pertanian Pembangunan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP-SPMA) Negeri Ambon. Ke Negeri Haya awal tahun 1980-an, menumpang kapal laut Primadona dari pelabuhan Tulehu-ke pelabuhan Tehoru. Saya beruntung, karena tidak membayar tiket kapal milik almarhum H Hasan Muluth. Apalagi, yang memeriksa tiket penumpang saat itu adalah kakak sepupu, Moksin Salatalohy bin Djen Salatalohy.
Anak-anak kakak ipar saya saat itu masih kecil. Kini mereka sudah memiliki anak. Seorang diantaranya Iwan Pelupessy—saat ini Komisioner Ombudsman Maluku. Sekalipun kakak ipar, memperistrikan orang Haya, tetapi, mereka menerima saya dengan senang hati. Saya diajak memetik cengkih dan diberi uang saat akan kembali ke Ambon. Dan, yang lebih berkesan lagi, di negeri Haya ini pula, saya mengenal seorang gadis tetangga rumah kakak ipar. Kami sering bersua. Saling tatapan. Dan, saling……
Sekalipun pertemuannya singkat, sekitar 20 menit, tetapi kami mengisahkan kembali 35 tahunan lalu ditemani anak dan cucu. Kami pamitan untuk kembali ke rumah ponaan saya. Ternyata, Wau telah menyediakan makan malam. Dan, tepat pukul 20.00 kami meninggalkan Negeri Haya ke Masohi…(bersambung—ter-adang hujan ditengah kegelapan)
[…] Mudik di Maluku (1) : Jalur “Jakarta” ke Haya, Gemetar… […]