Site icon Inspirasi Makassar

Alumni STIP Al-Gazali Raih Profesor (2). Konstribusi Signifikan bagi Pertanian Tangguh

Makassar, Inspirasimakassar.id:

Alumni angkatan 1986, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali Ujungpandang–kini Universitas Islam Makassar (UIM), yang saat ini menjabat Direktur Politeknik Pertanian (Politani) Unhas—kini Politani  Negeri Pangkep, Dr.Ir.Darmawan,MP, dikukuhkan sebagai Profesor Bidang Klimatologi Pertanian di hotel mewah, Claro, Rabu, 5 Februari 2025. Para alumni di kampus yang pernah mendapat julukan ‘Kampus di Tengah Sawah’ itu bangga.

Seperti diketahui, meraih jabatan profesor di bidang karakteristik iklim dan potensinya untuk pengembangan komoditas perkebunan, tentunya memerlukan pendekatan beragam. Dengan membangun landasan yang kuat dalam ilmu iklim, melakukan penelitian yang berdampak, berkontribusi pada pengajaran dan bimbingan, dan secara aktif menyebarluaskan pengetahuan.

Profesor Darmawan salah satunya yang dapat menunjukkan keahlian, atau kepakarannya guna memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan industri perkebunan. Seperti yang dikemukakan Mantan Wakil Presiden RI-dua kali,H.M.Jusuf Kalla melalui testimoni yang diperuntukan kepadanya.

Jusuf Kalla menyebut, masa depan pertanian sangat ditentukan oleh individu yang secara efektif menjembatani kesenjangan antara ilmu iklim dan praktik pertanian, dalam membentuk masa depan yang tangguh dan produktif, khususnya  untuk komoditas perkebunan.

Pada narasi bersambung kedua di sela sela pemaparan pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar, bersama tiga profesor lainnya masing masing Prof.Ir.Muh.Ikbal Illjas,M.Sc.Ph.D (Kepakaran Ilmu Nutrisi dan Makanan Ikan), Prof.Dr.H.Mauli Kasmi,S.Pi,M.S, (Kepakaran Manajemen Agribisnis Perikanan) dan Prof.Dr.Ir.H.Nursidi Latif,M.Si (Kepakaran Manajemen Perikanan), Darmawan mengemukakan, di Indonesia, variabilitas iklim tahunan digambarkan oleh siklus musiman yang dipengaruhi oleh sistem monsunal. Hal ini memengaruhi musim hujan dan musim kemarau yang dikenal di Indonesia. Pada bulan Oktober hingga Maret, angin monsun bertiup dari Asia ke Australia dan membawa banyak uap air yang kemudian turun di Indonesia.

Meraih jabatan profesor di bidang karakteristik iklim dan potensinya untuk pengembangan komoditas perkebunan memerlukan pendekatan yang beragam. Dengan membangun landasan yang kuat dalam ilmu iklim, melakukan penelitian yang berdampak, berkontribusi pada pengajaran dan bimbingan, dan secara aktif menyebarluaskan pengetahuan, calon profesor dapat menunjukkan keahlian mereka dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan industri perkebunan. Masa depan sektor penting ini bergantung pada individu yang dapat secara efektif menjembatani kesenjangan antara ilmu iklim dan praktik pertanian, membentuk masa depan yang tangguh dan produktif untuk komoditas perkebunan.

Ini mengakibatkan musim hujan. Sementara di bulan April hingga November, angin monsoon bertiup dari Australia ke ke Asia dan membawa sedikit uap air. Ini menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia, sehingga dikenal sebagai musim kemarau. Contoh lain fenomena alami akibat variabilitas iklim adalah El-Nino dan La-Nina. Kedua fenomena ini memengaruhi distribusi air hujan di daerah tropis, termasuk Indonesia.

Berdasarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena El-Nino adalah pemanasan permukaan laut di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur, hal ini disebabkan karena angin pasat yang biasanya berhembus dari timur ke barat melemah.

Curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia menurun dan berpindah ke arah timur, yaitu Samudera Pasifik tropis tengah dan dan timur, yang menyebabkan curah hujan menurun dan mengakibatkan kekeringan meteorologis.

La-Nina dikenal sebagai pendinginan permukaan laut di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur. Kondisi ini mengakibatkan curah hujan di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur berkurang karena curah hujan berpindah ke barat. Akibatnya curah hujan di Indonesia meningkat, karena angin pasat dari Pasifik Timur ke arah Barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Semakin dinginnya anomaly suhu laut, semakin kuat L-Nina, demikian juga sebaliknya.

Sementara, fenomena ENSO (El Niño-Southern Oscillation) adalah fenomena iklim yang terjadi secara alami dan berulang, yaitu perubahan suhu permukaan laut dan tekanan udara di Samudera Pasifik. Fenomena ini dapat memengaruhi sebagian besar daerah tropis dan subtropis.

Fenomena ENSO ini sesungguhnya terjadi dengan tiga fase yaitu: fase El-Nino, La-Nina (seperti yang telah dijelaskan di atas) dan Netral. Kondisi netral ini merupakan fase netral yang merupakan kondisi normal dari ENSO, di mana tidak terjadi El Niño maupun La Niña. Fenomena ENSO ini juga dapat berupa El Niño (hangat), La Niña (dingin), netral dan berayun di antara keduanya dalam siklus yang dapat berlangsung selama dua hingga tujuh tahun.

 ENSO, secara detail juga merupakan salah satu osilasi iklim paling signifikan yang memengaruhi dunia, yaitu memengaruhi suhu dan arus laut, tekanan atmosfer, pola angin, serta jumlah dan lokasi curah hujan, dan masih banyak lagi. Dampaknya meluas ke seluruh dunia, dan tidak hanya terbatas pada Pasifik Ekuator tempat dimana tanda-tanda SST dan perubahan pola atmosfer yang paling jelas muncul.

Perubahan atmosfer yang terkait dengan ENSO dapat menggeser lokasi aliran jet dunia, yang berdampak pada jalur sistem cuaca dan seberapa jauh udara hangat/dingin utara/selatan diizinkan untuk bergerak. Misalnya, di AS, tren tertentu dalam pola cuaca menjadi lebih atau kurang mungkin tergantung pada fase ENSO. El Niño dan La Niña biasanya mencapai puncaknya selama musim dingin, dan begitu pula dampak terkait cuaca.

 Musim dingin El Niño dapat melihat aliran jet dan jalur badai bergeser lebih jauh ke selatan dari biasanya di AS, meningkatkan kemungkinan kondisi yang lebih dingin dan lebih basah dari biasanya di Selatan dan kondisi yang lebih hangat dan lebih kering di Timur Laut dan wilayah utara, termasuk sebagian besar Kanada bagian barat.

Musim dingin La Niña sering kali melihat aliran jet yang bergeser ke utara, sehingga kemungkinan lebih besar terjadi Selatan yang lebih kering dan lebih hangat dan Utara yang lebih basah dan lebih dingin. Fase ENSO juga diperhitungkan dalam prakiraan siklon tropis musiman untuk sebagian besar cekungan samudra di seluruh dunia. Misalnya, selama El Niño di Samudra Pasifik, peningkatan geser angin di Samudra Atlantik tropis dapat memecah gangguan sebelum gangguan tersebut dapat berkembang, sehingga meningkatkan kemungkinan musim yang kurang aktif dari biasanya di cekungan tersebut.

Sebaliknya, peningkatan SST di Pasifik khatulistiwa membuat musim tropis yang lebih aktif lebih mungkin terjadi di cekungan Pasifik Timur pada tahun El Niño.

Ekspektasi musiman untuk jumlah sistem tropis berpindah cekungan selama tahun La Niña. SST yang lebih hangat dan geser angin yang lebih sedikit dari biasanya dapat menyebabkan musim badai Atlantik yang lebih aktif, sementara SST yang lebih dingin dari biasanya sering kali mengakibatkan musim badai Pasifik timur yang kurang aktif dari biasanya.

Karena itu, secara keseluruhan, tahun-tahun El Niño cenderung lebih hangat secara global, sebuah tren yang didokumentasikan dalam berbagai produk data NCEI dan laporan dari BMG. Mendeteksi dan memahami fase ENSO yang benar adalah kunci untuk merespons secara efektif dan cepat terhadap perubahan global yang dapat berdampak signifikan terhadap manusia, ekosistem, dan pertanian.

Di bagian lain, Prof.Darmawan mengemukakan,  Perubahan iklim adalah perubahan pada atmosfer bumi dalam jangka waktu yang lama, seperti beberapa dekade hingga beberapa milenia. Perubahan iklim bisa disebabkan oleh proses alami, seperti aktivitas solar dan vulkanik, pergerakan lempeng tektonik, dan perubahan pada orbit bumi. Tetapi pada umumnya kita membahas perubahan iklim sebagai akibat dari perbuatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pemicu utama perubahan iklim adalah efek rumah kaca. Mengutip European Commission, beberapa jenis gas di atmosfer bekerja seperti kaca yang memerangkap panas matahari sehingga tidak terlepas ke luar angkasa. Akibatnya, panas matahari terperangkap di atmosfer bumi dan membuat bumi bertambah panas. Beberapa jenis gas rumah kaca muncul secara alami. Tetapi ada juga yang bertambah banyak akibat aktivitas manusia, seperti  Karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen oksida (N2O), Hidroflorokarbon (HFC),  Sulfur heksaflorida (SF6), Nitrogen triflorida (NF3), Perflorokarbon (PFC).

Gas rumah kaca tersebut terlepas ke atmosfer akibat perbuatan manusia. Berikut beberapa faktor penyebab efek rumah kaca; Bahan bakar minyak, gas, dan batu bara menghasilkan karbon dioksida dan nitrogen oksida, menebang pohon (deforestasi) melepas karbon ke atmosfer, memelihara ternak seperti sapi dan domba yang menghasilkan metana saat mencerna makanan, pupuk yang mengandung nitrogen menghasilkan nitrogen oksida, penggunaan barang elektronik yang menghasilkan gas fluorinasi (HFC, SF6, NF3, PFC, dan lain-lain).

Menyoal dampak dan Adaptasi perubahan iklim, Prof. Darmawan menyebut, perubahan iklim dan efek rumah kaca yang terjadi secara global dan secara regional memberikan dampak yang secara signifikan terhadap system pengelolaan produksi pertanian secara luas. Kondisi ini memerlukan adaptasi dan upaya pengelolaan sumberdaya lahan dengan baik dan berkelanjutan.

Sementara dampak perubahan iklim 20 tahun terakhir, Prof Darmawan melihat, perubahan iklim pada 20 tahun terakhir telah memberikan dampak terhadap terjadinya perubahan klimatologis 2004 – 2023, hal ini menyebabkan terjadinya durasi hujan lebih panjang sekitar 49 hari pada beberapa wilayah selatan di Indonesia, di antaranya, di wilayah 1Sumatra Selatan dan Kalimantan dan sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi. Sementara itu, di Lampung dan bagian barat pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang sekitar 12hari.

 Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk wilayah selatan Indonesia. Kondisi ini oleh Erma (2024), telah disampaikan, pada Januari 2023 di European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF), bahwa pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21oC. Bahkan dalam 30 tahun, pemanasan global ini berlanjut hingga mencapai 1,5oC pada Maret 2023. Dampak perubahan iklim, menyebabkan terjadinya Badai Vorteks dan Siklon Tropis,seperti di selatan Nusa Tenggara Timur, sehingga dampaknya meningkatkan hujan dan menimbulkan banjir di beberapa daerah seperti Madura dan juga wilayah Jawa Timur lainnya. Selain itu, terjadi penghangatan suhu permukaan laut di Laut Jawa dan di utara Jakarta.

Karena itu, untuk mengantisipasi kebencanaan yang mungkin terjadi dari badai Badai Vorteks dan Siklon Tropis, diperlukan adanya model prediksi cuaca resolusi tinggi secara temporal dan spasial, dengan wilayah dominan yang luas agar dapat terdeksi sejak dini sehingga sistim peringatan dini (early waning system) dapat dilakukan. Selain itu, juga melakukan edukasi kepada masyarakat secara komprehensip terhadap kemungkinan terjadi perubahan iklim secara ekstrim.

Perubahan iklim sebagai fenomena alam ini memberikan dampak secara luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian dan ketahanan pangan (Purboningtyas et al. 2018). FAO juga menyebutkan bahwa salah satu ancaman paling serius terhadap masa depan keberlanjutan ketahanan pangan adalah implikasi perubahan iklim. Beberapa tahun terakhir telah terjadi kasus krisis pangan yang tidak dapat dipisahkan faktor penyebabnya dari perubahan iklim akibat pemanasan global (FAO 2016).

Adaptasi sangat penting dalam mengurangi potensi dampak variabilitas iklim pada petani kecil (Ehiakpor et al. 2016). Jiri et al. (2015) berpendapat bahwa kerentanan petani kecil akan terus meningkat tanpa adaptasi. Bentuk respon adaptasi pada prinsipnya yaitu meminimalkan kerentanan dan membangun resiliensi, dengan kata lain petani harus mempunyai kondisi yang lebih tahan dan kuat terhadap variabilitas iklim.

 Dalam penelitian Antwi-Agyei et al. (2014) menunjukkan bahwa untuk sektor pengelolaan pangan berbasis petani dan rumah tangga menggunakan berbagai jenis dan strategi adaptasi off-farm, termasuk mengubah waktu penanaman, diversifikasi tanaman pangan untuk beradaptasi dengan peningkatan variabilitas iklim (Kurniadi, et al. 2023).

Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola hujan, panjang musim hujan, pergeseran awal musim hujan, dan meningkatnya kejadian iklim ekstrem berdampak serius terhadap sektor pertanian, terutama tanaman pangan. Tanaman pangan pada umumnya memiliki siklus hidup pendek, sehingga dampak kejadian iklim ekstrem seperti El Niño dan La Niña dapat diketahui langsung dari perubahan kuantitas produksi tanaman. Secara ekonomi,produksi pangan yang fluktuatif karena anomali iklim akan mempengaruhi ketersediaan pangan nasional.

Sebagai contoh, kejadian El Niño yang kuat seperti pada tahun 1997 dan 2015 tidak hanya menyebabkan gagal panen dan tertundanya waktu tanam, tetapi juga menaikkan harga pangan dan berkontribusi pada kerentanan pangan jutaan orang. World Food Program (2016) mengestimasi bahwa produksi pangan harus meningkat 50% di tahun 2030 agar dapat memenuhi permintaan dari meningkatnya populasi. Pada saat yang sama, akibat perubahan iklim diproyeksikan akan terjadi penurunan produksi pangan dunia 1-7% sampai tahun 2060.

Jika dampak perubahan iklim tidak diantisipasi, diperkirakan sekitar 20% penduduk dunia berisiko kelaparan. Boer et al. (2011) menyatakan bahwa penurunan produksi padi di Jawa pada tahun 2025 akibat kenaikan suhu dan konversi lahan mencapai 6 juta ton dan pada tahun 2050 mencapai lebih dari 12 juta ton dengan asumsi terjadi laju konversi lahan sawah 0,77% per tahun Kurniadi et. al. 2023). (din pattisahusiwa/bersambung)

Exit mobile version