“Kami hanya bisa mengucapkan terima kasih. Karena, setiap bulan, Baznas ke rumah kami untuk memberi bantuan uang, beras, minyak kelapa, teh, dan mie. Uangnya, bisa membantu membeli obat buat kesembuhan ibu saya. Di saat ibu saya sakit, ayah pergi. Dia juga tidak memberi kami nafkah” ujar Aisya, murid kelas VI SD Cokroaminoto saat didatangi Tim Baznas, di kediamannya, Senin, 25 Oktober 2021″.
Islam mengajarkan, kewajiban seorang anak, selain berbakti kepada orangtua, juga menjaga, dan merawatnya tak kala sakit. Itu karena, jasa orangtua begitu besar, dan juga tidak ternilai. Ibu misalnya, mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, menyusui, dan membesarkan anak. Sedangkan kewajiban ayah adalah, mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Kalimat di atas sejatinya sepadan dengan kenyataan pada diri gadis manis yang satu ini. Aisyah. Sekalipun masih belia, dia terpaksa harus menjalani tiga peran sekaligus. Sekolah, mencari nafkah untuk keluarganya, sekaligus memikirkan biaya pengobatan ibunya yang kini terbaring lemah.
Mungkinkah dalam diri Aisyah telah tertanam “Birrul Walidain”, yakni, bagian dalam etika Islam yang menunjukan sikap bakti seorang anak kepada orangtua.Berbuat baik kepada orang tua juga disebutkan dalam QS. An Nisa: 36. Berbakti kepada orangtua dapat ditunjukkan dengan cara tidak menyakiti hatinya, serta senantiasa mematuhi perintahnya.
Itulah mengapa, tak kala melihat ibunya yang terbaring, akibat penyakit yang menderanya, lantas tergerak hati untuk mencari jalan keluar. Itu dilakukan Aisyah, lantaran tidak ada biaya hidup, karena Firman yang tidak lain adalah ayah kandungnya memilih meninggalkan rumah. Selain meninggalkan rumah, ayahnya juga tidak mengirimkan biaya untuk keperluan sehari hari, termasuk biaya pengobatan ibunya.
Ayahnya itu pergi. Dia lari dari tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Dia pergi meninggalkan ibunya, Aisyah dan adik laki-lakinya. “Ayah tidak cerai. Tetapi, dia pergi meninggalkan ibu, saya dan adik saya sejak dua tahun lalu, sambil membawa adik yang satu,” demikian curahan Aisya sambil sesekali menyeka air mata.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Malah, tahun demi tahun, ayahnya tidak kunjung datang. Maka, Aisya tergerak hati. Dia menetapkan hati yang tulus. Dia berdoa untuk ‘menyelamatkan’ ibunya dengan bekerja. Hanya saja, usianya relatif dibawah umur.
Melihat kondisi keluarga yang demikian parah, Aisya sebenarnya berniat bekerja di perusahaan. Hanya saja, terhambat aturan. Dimana Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 misalnya menyebutkan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dalam ketentuan undang-undang tersebut menyebutkan, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. Itu berarti, 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. Sementara Aisya baru 13 tahun.
Jika melanggar, tentunya ancaman bagi pengusaha atau perusahaan, yakni pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Lantas bagaimana langkah yang harus diambil Aisya mengurangi beban keluarga, utamnya mencari biaya pengombatan ibunya? Ternyata Aisya masih memiliki satu jalan. Yakni, menjual kue di sekolahnya.
Lalu mengapa dia sellau memikirkan bekerja, setidaknya menjual kue? Padahal, masa kekanan-kanakan. Masa yang seharunya dipenuhi hal-hal bahagia dan menyenangkan. Di usia masih belia, apalagi perempuan, biasanya disibukkan dengan bermain dan belajar. Dan, yang penting adalah, dimanjakan orang tua.
Namun, tak semua anak bisa bernasib sama. Ada beban dan tuntutan hidup yang harus mereka tempuh. Tentunya, hal ini juga dapat mengubah jalan hidup seorang anak. Meski berat, banyak anak-anak di dunia ini menghabiskan masa kecilnya dengan bekerja. Mereka relah mencari uang, demi kebutuhan hidup.
Sebenarnya, bekerja buat Aisyah, bukanlah menjadi pilihan. Tetapi, karena keterpaksaan, maka dia menjauhkan diri manjaan. Menjauhkan diri permainan permainan bersama rekan rekannya di lingkungan tempat tinggalnya.
Alasan memilih menjual kue di sekolahnya hanya satu. Membantu biaya pengobatan ibunya yang kini terbaring di tempat tidur, sekaligus mencukupi kebutuhan keluarga.
Bukan hanya itu, dia juga sudah memikirkan masalah ekonomi keluarga. Sekalipun demikian, dia tetap bercita cita menjadi orang sukses. Sukses agar, bisa menjadikan ibunya bahagia. Salah satu kalimat yang terucapkan di bibir mungilnya, sambil sesekali terlihat pipinya memerah “Saya kepingin ibu sembuh, sehingga bisa jalan jalan bersama bersama adik. Saya kepingin sekali jalan bersama ibu. Tetapi kira kira kapan? Apakah, ibu masih bisa sehat seperti dulu? Semoga tuhan masih memberi ibuku umur yang panjang, sembuh dari sakitnya. Semoga”.
Makanya, Aisyah bersedia menjual apa saja. Yang penting diperoleh secara baik dan halal. Aisya yang kini duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar Cokroaminoto inipun memilih menjual kue.
Dia memilih kue Donat! Alamat pengambilan kue di Jalan Regge. Biasanya, dia mengambil tiga kotak. Satu kotak berisi 15 buah Donat. Saya jual perbuah Rp2000. Kalau beruntung, bisa mendapat Rp30.000. Keuntungan ini, semuanya diserahkan ke ibunya. Biasanya uang itu, sebagian dipakai untuk belanja makanan, selebihnya untuk membeli obat.
Mengapa memilih berjualan kue? Apa tidak diremehkan rekan rekan di sekolah? Atau di lingkungan tempat tinggal? Dengan tegas dia menjawab, tidak!!
“Saya tidak malu. Apalagi, teman teman saya baik di sekolah, maupun di sekitar rumah tidak ada yang remehkan saya. Mereka semua juga sudah tahu kehidupan saya. Mereka tahu kalau ibu saya sakit. Dan, mereka juga tahu kalau ayah saya sudah pergi,” tutur Aisya di samping Rosmiati, ibunya yang terbaring.
Kerja keras, sekalipun masih kanak kanak, bukanlah pilihan, tetapi keterpaksaan. Sebab, dalam keadaan sakit, Firman, yang tak lain ayahnya, pergi meninggalkan ibunya dan dua anak. “Ayah tidak cerai. Tetapi, dia pergi meninggalkan ibu, saya dan adik saya sejak dua tahun lalu, sambil membawa adik yang satu,”’ ujarnya sambil sesekali menyeka air mata.
Ayahnya saat ini tinggal di dekat terowongan, di sekitar Jalan Tol Reformasi. Sesekali, dan dalam keadaan terpaksa, Aisyah berupaya kemu ayahnya. Hanya saja, sesekali tidak bertemu. Dan, jika bertemu, biasnaya tidak lama. Dalam pertemuan itu, dia selalu mengajak ayahnya kembali ke rumah untuk melihat ibunya. Namun, ayahnya belum mau.
“Saya sudah beritahu bapak kalau mama sakit, hanya saja bapak tidak bilang apa-apa. Padahal bapak sudah tahu ibu sudah lama sakit keras. Bahkan, sejak ayahnya meninggalkan ibu dan dirinya, dia tidak pernah membiayai kami. Sekalipun dalam keadaan yang tidak menentu ini, saya berharap bisa melanjutkan ke SMP, juga di Cokroamonito,” ujarnya.
Karena Aisyah dan keluarganya terdaftar dalam kaum dhuafa, maka Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Makassar berkewajiban menyerahkan bantuan bulanan. Makanya, di saat kedatangan tim Baznas, Aisyah tiba tiba terlihat tersenyum. Tim Baznas Kota Makassar menyerahkan bantuan berupa uang tunai sebesar Rp200.000, beras 10 kilo, dan bahan sembako lainnya.
“Atas nama keluarga saya mengucapkan terima kasih kepada Baznas. Karena setiap bulan kami menerima bantuan seperti ini,” tuturnya.
Seperti diketahui, sepanjang hari, dalam beberapa tahun terakhir Rosmiati—ibu dari Aisyah hanya terbaring. Kakinya tidak bisa lurus. Tangannya tidak bisa bergerak. Bahkan kulitnya mulai menghitam.
Sesekali Rosmiati menetskan air mata. Sesekali terdiam. Meneteskan air mata lagi. Dan, diam lagi. Sedih.
Sedih, bukan hanya karena serba kekurangan. Bukan pula karena menderita sakit. Melainkan turut tersiksa, lantaran harus menerima kepergian seseorang yang dicintai, seseorang yang telah hidup bersama sekian lama, dan saling menggantungkan perasaan satu sama lain. Kemudian entah mengapa, dia pergi.
Sangat wajar untuk bersedih. Karena sedih adalah ekspresi terbuka dari pikiran dan perasaan dalam menghadapi kehilangan pasangan. Padahal, pasangan hidup, merupakan bagian penting dari proses penyembuhan.
Bagi Rosmiati, bantuan Baznas sangat berarti. Di saat saya butuh dana untuk membeli obat, datanglah Baznas memberi bantuan. “Saya berterima kasih kepada Baznas. Tidak ada ungkapan lain yang melebihi rata terima kasih. Semoga, Baznas tidak melupakan saya dan keluarga. Semoga, Baznas masih bersama saya, memberi pertolongan, memberi bantuan kepada saya. Hanya Allah yang maha tahu,” tuturnya.
Menyinggung rumah yang ditempat, Rosmiati mengaku bukan rumah pribadinya, melainkan rumah keluarganya dari ibunya. Pemilik rumah petak petak berlantai dua yang terbuat dari papan yang sudah termakan usia itu memberinya salah satu kamar yang tersambung dengan dapur di lantai II. Hanya saja, untuk ke lantai II harus berhati hati. Selain papan menuju kamar yang ditempat Rosmiati bersama ibu dan kedua anaknnya sudah rapuh. Sudah berlubang. Mudah patah, sehingga kalau tidak hati hati bisa jatuh.
Atapnya juga sedikit bocor, sehingga kalau hujan basah. Sebaliknya kalau tidak hujan, panas, sehingga disiakan satu kipas angin.
Rosmiati adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Dalam keadaan sakit, tiga kakaknya juga biasanya membantu ala kadarnya, hanya saja bantuan itu dalam waktu yang tidak menentu. Maklum mereka juga punya keluarga yang haris dihidupi. Mereka tinggal juga di Makassar.
Sebelum menderita sakit, Rosmiati bekerja di gudang roti di Jalan Gunung Bawakaraeng. Tetapi, entah mengapa, dia menderita seperti ini. “Pertamanya sakit memang di gudang. Awalnya panas, kemudian dibawa ke rumah sakit. Dia bilang sakit di kepalanya. Lama kelamaan, seluruh badannya sakit, hingga tidak bisa bangun. Saat itu, anak saya ini bertanya, bagaimana bisa begini badanku. Saya tidak bisa bangun,” tutur ibunya menirukan ucapan Rosmiati.
Di gudang roti itu, setiap hari Rosmiati memperoleh upah lebih Rp100.000, namun setiap minggu baru di dapat. Dia bekerja di gudang roti itu sekitar tiga tahun. Tetapi, kini sudah lebih dua tahun dia tidak bisa bangun. Tangannya tidak bisa goyang, badannya menghitam, kakinya tidak bisa lurus.
Kini berat bedannya pun lebih ringan ringat dari lebih 50 kilo saat masih sehat, kini hanya tinggal beberapa kilo saja. Lalu mengapa keluarga Rosmianya tidak membawanya ke rumah sakit untuk berobat? Tidak lain karena, keterbatasan dana. “Kami berharap Rosmiati bisa berobat di rumah sakit, supaya bisa cepat sembuh. Tapi, masalah yang timbul, tidak ada uang,” ujar ibunya. (din pattisahusiwa)