[wr_row][wr_column span=”span12″][wr_text el_title=””]
Komunitas adat Towani Tolotang adalah sebuah kelompok masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Mereka memiliki kepercayaan dan ritual sendiri di luar lima agama yang diakui di Indonesia. Sekalipun pemerintah memasukkan kelompok ini dalam naungan Agama Hindu, namun keseharian, maupun perayaan hari besar, komunitas ini punya ciri khas. Memakai kopiah hitam, layaknya orang Islam.
Sebagian besar komunitas yang tidak mengenakan alas kaki ini, bermukim dan berkembang ratusan tahun silam di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidrap. Dari ibukota kabupaten, Amparita berjarak sekitar 8 km. Sementara dari Kota Makassar berjarak 231 km.
Komunitas ini tidak memiliki ciri khusus dengan masyarakat sekitar. Mereka, tetap menegaskan identitas sebagai orang Bugis. Bahasa yang digunakan Bugis. Dan, kebanyakan dari mereka hidup dalam bidang pertanian.
Towani adalah, sebuah kampung di Kabupaten Wajo. Juga di Sulawesi Selatan. Sedangkan yang membawa kepercayaan ini seorang perempuan. Ipabbere. Dia meninggal ratusan tahun silam dan dimakamkan di Perinyameng. Sebelah barat Amparita.
Makam Ipabbere selalu ditempati untuk acara tahunan komunitas ini. Khususnya Januari . Acara tahunan ini, merupakan pesan dari Ipabbere. Jika meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas dari berbagai penjuru, baik di Jakarta, Kalimantan, hingga Papua berdatangan.
Komunitas ini diakui negara sebagai aliran kepercayaan. Namun, karena ada kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama di Indonesia, maka pada tahun 1996, pemerintah menawarkan tiga pilihan untuk memilih antara Islam, Kristen, atau Hindu. Aturan itulah akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk.
Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut ratusan tahun dan bernaung di bawah Hindu, berdasarkan SK Dirjen Bimas Hindu no 2 dan No 6, tahun 1966. Sekalipun berafiliasi ke Hindu, namun adat istiadat tetap terjaga. Jika ada acara agama Hindu di luar Sulawesi Selatan, seperti Jakarta atau Bali, mereka diundang khusus. Tapi acara-acara ritual yang mereka lakukan berbeda dengan agama Hindu. Hal ini juga dapat dilihat ketika perayaan Hari Raya Nyepi Agama Hindu, tak ada kegiatan apa-apa di komunitas ini.
Mengapa memilih Hindu? Alasannya sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan, Hindu-lah yang memiliki kesamaan dan kemiripan. Termasuk soal prinsip.
Bentuk rumah para pemangku adat Tolotang yang biasa disapa Wa’ berarsitektur tempo dulu. Dibawahnya terdapat beberapa balai, terbuat dari bambu yang diraut kecil-kecil. Jika balai bambu rumah tokoh adat rusak, mereka bekerja sama memperbaikinya.
Rumah tokoh adat Tolotang jauh beda dengan rumah warga lainnya. Satu hal yang jelas membedakan, adalah tiang rumah segi delapan dan bundar. Bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa. Tiang yang bulat diibaratkan, paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh.Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan kursi. Sebab, memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Di Amparita, rumah sekaligus menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng ini jumlahnya sekitar 30 buah.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara lain juga sangat kental nuansa adat. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya hari dan tanggalnya berdasarkan hasil tudang sipulung (musyawarah) tokoh adat. Saat hari H, juga mereka mempunyai acara adat. Massempek (saling tendang, Bahasa Bugis). Dulu, massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya diganti anak SD.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya menarik minat peneliti berbagai negara. Sejak tahun 1970-an, peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sering ke Amparita mendalami komunitas ini. Rumah-rumah juga diteliti. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya.
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah keseluruhan, termasuk di luar Sulawesi Selatan menghampiri 40 ribu orang. Sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini sangat sulit. Jangan pernah berharap, warga kebanyakan komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab urusan komunitas ini, seluruhnya di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa.
Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Yaitu Tetteng (Bugis: konsisten). Mereka tidak pernah berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun.
Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku tokoh yang memberi pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz.
Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini akhirnya berubah haluan. Mereka memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. Bahkan banyak yang sudah haji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Komunitas ini cukup ketat dalam masalah pernikahan. Siapapun yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi. Mereka yang memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang menganut Islam, para tokoh adat membenarkannya. Namun menurut mereka orang-orang ini tak lagi diakui. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi mereka tetap rukun dan tidak saling mengganggu.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga Tolotang punya hubungan baik dan akrab dengan masyarakat sekitar. Mereka selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili dengan mereka hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita.
Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga yang keluar, tetapi tidak pernah dipermasalahkan. Sebaliknya, ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan Tolotang. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup. Sebab, prinsip mereka, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain, tapi mereka berkembang berdasarkan anak cucu. (ladewabego.bsc)
[/wr_text][/wr_column][/wr_row]