MEMORIUM THE SPICE ROAD

[Episode Menilaskan Sejarah Manusia Maluku]

????????????????????????????????????

Oleh, Ham Achmada

“Bangsa tanpa budaya adalah entitas tanpa wajah,

dengan kata lain: tanpa mata, tanpa telinga, tanpa hidung,

tanpa mulut, dan tanpa otak.”

(Subcomandante Marcos_Meksiko Tenggara)

Sebuah bangunan benteng yang rapuh oleh waktu bisa jadi tetap tumpukan pasir dan batu-batu. Setiap saraf di kepala manusia bisa jadi hanya serangkaian mekanisme pelengkap yang menunjukkan bahwa yang berlalu-lalang di depanmu adalah manusia yang tercelup dalam drama keseharian hidup.  Hidup memang misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan, kita tak pernah tahu persis siapa leluhur yang menjadi “titik antara” kita berlabuh di sebuah daratan. Di sini, segala sesuatu yang kita temui merupakan kesangsian terhadap berbagai hipotesis-hipotesis.

Seseorang hanyalah tumpukan tanah liat, tulang belulang, di bawah pasir dan batu-batu yang menjadi tanda pemakamannya yang sunyi. Kita tak pernah tahu bahwa yang terbaring di bawah tumpukan tanah, pasir, dan batu-batu adalah seorang maestro yang semasa hidupnya adalah legenda. Kita juga tak pernah menyadari bahwa sosok di bawah gundukan tanah pada sebuah kuburan adalah pahlawan yang telah dikukuhkan waktu. Kemudian pada suatu ketika, sesuatu yang tertulis dapat dituliskan, di sini bahasa tak sekedar tuturan lisan kata-kata. Segala sesuatunya dimulai pada suatu titik purba, jauh dari penglihatan masa kini. Dari ruas-ruas sunyi titik mula yang purba itulah “ukiran kata-kata” jadi suluh cahaya pada cermin waktu yang membuat orang-orang masa lampau menerepong eksisitensi dirinya dan mencoba menerjemahkan masa masa depan.

Catatan ini merupakan refleksi tentang misteri jalur rempah yang memposisikan Maluku sebagai titik harapan terjauh dalam peta dunia di masa lalu. Tulisan dari tangan seorang penulis membuka gerbang ke dunia masa lampau dan menjadi telunjuk arah yang menunjukkan bahwa di antara tumpukan pasir dan bebatuan tersembunyi nilai kehidupan tak ternamai dan tak terbaca. Mereka yang menuliskan setiap inci peristiwa dalam sejarah adalah tangan-tangan yang mencoba membeningkan setiap kisah kehidupan pada cermin waktu yang memantulkan rahasia-rahasia bermakna.

The Spice Road adalah hamparan jalan panjang melintasi laut, pulau-pulau, dan gurun pasir dunia. Istilah  The Spice Road adalah istilah yang menjadi tanda banyak jejak ke timur matahari terbit. Di atas garis ini kita menemukan peta dengan garis arah menuju kepulauan rempat-rempah yang misterius bernama Maluku.

Banyak jejak, kisah petualangan, pertemuan-pertemuan asing, bukit-bukit yang hijau oleh tanaman rempah cengkih dan pala. Pulau-pulau sekitar Hamahera masih bermandikan wangi cengkeh selama musim-musim buah hingga panen cengkeh. Ketika itu, bumi Maluku layaknya pengantin yang dihiasi kemewahan dan keharuman dari kemurahan alam semesta.

Dunia Timur memiliki daya tarik tersendiri bagi duni Barat karena kekayaan rempah-rempah. Nachrawy (1997:171) mengemukakan dua rute perjalanan niaga internasional masa itu, yaitu perjalanan niaga internasional melalui jalur yang dikenal dengan “Jalur Sutra” (The Silk Road) melalui daratan Cina, Asia Tengah, dan berakhir di Laut Hitam, dan jalur niaga internasional yang dikenal dengan nama “Jalur Rempah” (The Sipcer Oute) melalui lautan dari Maluku yang menghasilkan rempah-rempah terus ke Borneo, Jawa, Ceylon, dan menyebrangi samudera Hindia ke Laut Arab. Rute ini berakhir dengan jalan darat, yang kemudian diteruskan oleh kafilah yang mengangkut dagangan ke kota Alexandria dan Sirya.

Banyak literatur sejarah tentang Maluku, menunjukkan bahwa bahwa Eropa mmenjadi bangsa dengan kekuatan maritimnya menerobos badai laut berhar-hari ke Maluku. Motif perdagangan memperoleh rempah-rempah di Maluku melatarbelakangi kehadiran berbagai bangsa-bangsa dunia meginjakkan kaki di wilayah Maluku.

Adnan Amal mengetengahkan detik-detik persaingan bangsa-bangsa Eropa yang ingin menemukan rempah-rempah yang tumbuh dibudidayakan di wilayah empat kerajaan di Maluku Utara. Persaingan antara Spanyol dan Portugis adalah babakan pembuka yang bisa diasumsikan sebagai epos pencarian harta karun di timur matahari terbit pada perempatan terakhir abad ke-15.

Helatan persaingan ini berlangsung ketika dunia benar-benar dibagi menjadi dua. Traktat Tordesillas (7 Juni 1494) antara Spanyol dan Portugis merupakan pisau bedah yang berhasil mengatomi permukaan bumi menjadi dua bagian, separoh untuk Spanyol dan separoh lagi untuk Portugis. Penarikan garis demarkasi ini dilakukan atas prakarsa Paus Alexander VI untuk menghindari konflik antara dua kekuatan maritim raksasa ketika itu yakni Spanyol dan Portugis (Baca, Amal, 2009: 245)

Setelah garis demarkasi ditarik yang membentuk dunia menjadi dua wilayah kepentingan besar untuk kepentingan dua kerajaan raksasa, pelayaran mulai dilakukan, penemuan pulau-pulau yang dianggap baru tercapai, kontak perdagangan dilakukan, monopoli terjadi, kemudian perbudakan dan penjajahan dimulai.

Melalui laut dan kekuatan maritim yang dimiliki Spanyol dan Portugis, semua kekuatan dikerahkan.  Portugis (baca Amal, 2010: 247) dengan ekspedisi bahari Bartholomeus Diaz dan Vasco da Gama, berhasil mengarungi lautan dan badai penuh teka-teki hingga mengungkap jalan yang timbul tenggelam di atas hamparan laut luas menuju kepulauan rempah-rempah dengan pendaratan awal mereka di India (Calicut) pada 1498. Kedua pelaut portugis itu sekaligus menciptakan prestasi hubungan kemaritiman Barat dan dunia Timur, khususnya antara Eropa dengan Timur Jauh.

Berbeda dengan Portugis, Calumbus dengan kekuatan maritim Spanyol sebaliknya menorehkan prestasi penemuan dunia baru Amerika pada tahun 1492, yang mingkin, motif awal pelayarannya ialah berharap tiba di wilayah kepulauan rempah-rempah di wilayah kerajaan Maluku Kie Raha.

Kerajaan Portugis di bawah pemerintahan raja Filips II Maluku dalam sejarah dunia adalah emas yang ditempa. Pala dan cengkeh merupakan dua jenis rempah-rempah yang sangat diandalkan pada saat itu. Dua jenis tanaman rempah-rempah inilah yang kemudian menjadikan Maluku sebagai pusat tujuan niaga repah-rempah dunia. Bahkan istilah “Jalur Rempah” ini sepertinya merupakan istilah yang paling purba di sematkan karena konon cengkeh dari Maluku sudah dikenal oleh Romawi, Cina, dan Alexandria jauh-jauh hari sebelum Spanyol dan Portugis berdatangan.

***

Setelah beberapa dekade bangsa Eropa bercokol di Maluku, tampaknya melahirkan benturan serius yang selalu mengalami pasang surut. Puncak benturan ini yang melahirkan titik balik perlawanan kembali menegaskan identitas Maluku terjadi ketika Portugis melakukan konsporasi pembunuhan terhadap Khairun. Pasca tragedi tersebut, Babullah sebagai Putra Mahkota, penerus sultan Khairun itu, berjanji akan memenuhi tuntutan rakyat dan menamatkan kehadiran Portugis di bumi Maluku. Janji itu tidak semata karena kemtaian ayahnya, tetapi lebih dari itu, rakyat Maluku harus bebas dari Portugis yang telah lama memonopoli rempah-rempah dengan serakah. Dengan demikian, maka tidak ada jalan lain selain orang-orang Portugis harus dibersihkan.

Setelah Babullah dilantik menggantikan ayahnya sebagai Sultan Ternate ke-27, sosok pemuda gagah berani ini langsung mengutus lima juanga besar yang memuat enam ratus tentara rakyat Maluku ke Ambon. Lima juanga besar ini dipimpin oleh Kaicil Kalasineo, paman Babullah sendiri. Hal ini dilakukan Babullah untuk menangkal kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi karena Ambon dan Seram merupakan simpul konsentrasi pasukan Postugis yang cukup besar melibihi  pasukan Portugis di Ternate (baca, Amal, 2010)

Adnan Amal menjelaskan bahwa lima juanga itu mula-mula berlayar ke Buru untuk menambah personil militer, kemudian ke Lesidi dan Kambua di Hoamoal. Dari sana armada berlayar ke Hitu untuk menyerang benteng Portugis di sana. Akan tetapi, ketika pasukan Babullah tiba, benteng telah kosong. Duarte de Menezes, bersama pasukannya sebanyak tujuh ratus orang telah melarikan diri ke Leitimor. Serangan ke Hitu dimaksudkan Babullah untuk mencegah bala bantuan Portugis ke Ternate. Pada saat yang sama, benteng Gamlamo mulai dikepung pasukan Babullah. Nuno Preira de Lacerda adalah gubernur Portugis terakhir yang terperangkap di dalam benteng saat itu. Babullah memerintahkan Kaicil Tolo pada 24 Desember 1575 untuk menyampaikan pesan dari sultan kepada gubernur Lacerda yang  kekurangan nutrisi, kelaparan, dan kurus kering.

Setelah menerima pesan untuknya, gubernur Lacerda tidak memiliki pilihan lain selain menerima syarat menyerah tanpa syarat dan mereka akan diberikan jaminan keselamatan selama dideportasi ke Ambon atau Malaka. Jika tidak, pasukan Babullah sebanyak sepuluh ribu orang akan menyerang ke dalam benteng Gamlamo. Saat-saat menyerah tanpa syarat itu dilakukan bertepatan pada tanggal 28 Desember 1575_hari Suci Santo Stefanus (Saint Stephen’s Day) (baca, Amal, 2010)

Berdasarkan catatan sejarah yang dapat ditelusuri tersebut menunjukkan apa yang dilakukan oleh Sultan Babullah merupakan capaian terbesar raja-raja nusantara terpenting yang harus dimaknai oleh kaum muda Maluku sebagai sebuah bangsa yang memiliki akar sejarah eksistensi yang tidak bisa dikekang. Sebagai entitas yang memiliki sejarah panjang, Manusia Maluku harus bertransformasi untuk memiliki nilai tawar penting secara nasional.

Mengapa demikian? Karena sejarah kita adalah catatan tentang kebangkitan kesadaran dan perlawanan yang tidak akan pernah mati oleh senjata secanggih apapun. Sultan Babullah dengan keteguhannya berdiri pada tumpuan keyakinan perjuangan kemanusiaan yang luhur. Banyak pelajaran penting yang dapat dipetik dari fakta-fakta perjuangan tokoh tersebut selama tampil di gelanggang kepemimpinan masa lampau.

Sejarah mengungkapkan bahwa sebelum kakek Sultan Babullah Zainal Abidin muncul dengan gagasannya sebagai sultan yang telah menguatkan fondasi keislaman.  Khairun tampil sebagai manusia Kie Raha yang toleran, kritis, dan tegas meskipun pada akhirnya toleransi yang ditunjukkan Khairun itu menjadi kelemahan tersendiri bagi dirinya yang berujung petaka tragis kematian yang tidak bisa dihindari. Kematian Sultan Khairun memang miris, karena pengkhianatan yang sistemik, sekaligus menandai detik-detik berdarah pada hari-hari setelahnya.

Dalam pentas sejarah, Babullah tampil sebagai sosok kharismatik yang sanggup menunjukkan pada dunia bahwa penjajah sekaliber Portugis dapat diusir dari tanah rempah-rempah pada tahun 1575.  Rekam jejak ini oleh Pramoedya Ananta Toer, novelis dan budayawan terkemukan Indonesia, pernah menuangkan kekagumannya atas kemenangan yang diraih Babullah setelah menaklukkan Portugis itu. Pramoedya menilaskan prestasi Sultan Babullah tersebut dalam essainya, sebagai berikut:

“Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan budaya ‘kampung’ menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita mensturbasik yang dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari peradaban dan budaya ‘kampung’ asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf. Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa. Itu terjadi di Ternate pada 1575.”

Kemenangan Sultan Babullah atas Portugis merupakan satu-satunya kemenangan Nusantara atas Eropa. Namun seiring perkembangan, fakta historis itu seolah dicuri lalu dikubur oleh berbagai interpretasi sejarah yang mengasingkan. Penulisan-penulisan sejarah di republik ini memang perlu ditinjau kembali secara kritis dan komprehensif, fakta kemenangan Babullah yang berhasil mengusir Portugis ialah fakta sejarah yang menjadi capaian di bidang militer dan diplomasi yang telah menjadi bagian penting eksistensi Indonesia. Tanpa diplomasi yang kuat dan dukungan kesadaran satu Maluku mustahil hal tersebut dapat dicapai. Catatan sejarah menunjukkan seluruh elemen bangsa Maluku menyatu dalam satu poros perlawanan.

Catatan Pramodeya Anan Toer menunjukkan bahwa apa yang menjadi capaian dalam penamatan keberadaan Postugis oleh Babullah bukanlah sebuah sketsa sejarah datar dan singkat, bukan pulan fiksi imajiner tanpa jejak di masa lalu. Ketika mengurai lautan kemenangan Babullah pada tahu 1575 itu sama halnya, sebagai pembaca, mencenungkan diri dalam keterlampaun waktu yang kompleks. Merenungkan kembali detik-detik itu adalah momen mengetarkan bagi anak muda Maluku untuk mencoba menghidupkan ingatan-ingatan masa lampau yang menujukkan jati diri sebagai bangsa yang berdiri dengan kepala tegak.

Beberapa karya Adnan Amal merupakan narasi tentang dunia yang bergolak itu. Di dalam beberapa karyanya memuat gambaran secara utuh tentang langit-langit Maluku yang bergejolak mengibarkan panji jihad melawan penjajahan, semangat-semangat perlawanan dalam sejarah itu rasanya sulit kita temukan di zaman kita yang nayat-nyata tertawan dalam warna lain penjajahan baru.

Anak muda Maluku harus membacanya. Menyusuri jejak dan membaca kisah Babullah sesungguhnya dengan seksama meneropong sebuah lakon dramatik, gigih, dan mengugah di atas sebuah panggung di seberang masa yang telah lalu. Momen membaca kembali sejarah ini meupakan kejutan istimewa yang mampu membuat anak muda Maluku mengenali eksistensinya.

Kekuatan dapat ditemukan dari sejarah. Hidupan di zaman sekarang memang hidup dalam situasi ketika kesadaran diculik, dicuci, direpresi, lalu digarami agar tidak hidup. Koboi culas sekaliber neoliberal dunia sangat takut terhap sejarah. Hal ini dikemukakan oleh Subcoamndate Marcus di Meksiko dalam catatan mereka, bahwa ketakutan neoliberal akan sejarah bukan ketakutan akan keberadaannya (lagi pula orang-orang miskin toh tetap ada, tetapi mereka bisa diabaikan), melainkan kekuatan bahwa orang bisa mengetahuinya lantas belajar dari sana.

Banyak anak Muda Maluku lupa untuk belajar dari sejarahnya sendiri. Sampai di sini, sebuah kehancuran akhir bagi Maluku ialah terletak pada memudarnya kesadaran anak muda Maluku terhedap sejarah leluhur sendiri; leluhur dimaksud ialah sejarah tentang Zainal Abidin yang pernah dinobatkan sebagai khalifah islam nusantara, kisah Khairun, kisah kemenagan Babullah, dan kisah adiluhung Sultan Nuku, Pattimura, Kapitan Kakiali, dan masih banyak nama besar lainnya.

Di masa yang penuh krisis ini, sejarah kembali, mengetuk pintu rumah kita! Mereka yang membuka pintu rumahnya untuk menerima tamu agung “sejarah” akan melihat sebuah jalan panjang yang menjurus ke jantung dunia. Di atas jalan itu banyak derap kafilah mengembara dan berharap tiba di halaman rumah kita yang menjadi bagian penting dunia.

Sejarah tentunya sumber penting siapa diri kita. Dari sejarah kita banyak belajar dan menemukan satu kesadaran bahwa tanpa Maluku, Senayan bukan apa-apa. Setelah Indonesia merdeka, banyak sekali bermunculan kisah-kisah fiktif tentang nusantara, sesuatu yang tidak berimbang terjadi, pada saat itu hingga sekarang generasi muda Maluku masih dicuri potensi nalar dan imajinasinya untuk ducuci dan digarami dengan sejarah-sejarah yang basi.

Meskipun demikian, kebenaran sejarah di negeri ini akan terungkap seiring waktu. Kisah Babullah dan kemenangannya pada tahun 1575 itu sampai pada kita melalui teks-teks yang lahir dari pena  mereka yang menemukan dirinya sebagai bagian tak terpisah dari lakon di atas panggung seberang masa itu. Kisah berdarah, cerita keserakahan, misi Jesuit, ketidakadilan, drama perburuan kekayaan, jadi bagian-bagian yang terendapkan ke dalam setiap guratan tinta dari pena orang-orang yang pertama kali menuliskannya dengan tubuh dingin gemetar.

Kita, yang hidup di masa depan, tentu akan merasakan dingin yang menggetar ketika membaca sejarah ataupun menuangkan sebuah perspektif sederhana tentang sejarah. Setelah menamatkan riwayat Portugis di Ternate, pada tanggal 5 Nopember 1979, ekspedisi Inggris dipimpin Laksamana Sir Francis Drake dengan armada Golden Hind tiba di Ternate dan diterima oleh Sultan Babullah. Dalam tulisan Nachrawi (1997) dikemukakan bahwa momentum pertemuan itulah yang kemudian menjadi cikal bakal diplomasi Inggris dan Indonesia (Drake-Babullah) di mana Ternate memberikan cendera mata cengkeh kepada raja Inggris.

Beberapa tahun kemudian setelah pertemuan itu, Sultan Babullah wafat dengan terhormat di tengah orang-orang yang mencintainya. Setelah itu pula babak lain dalam sejarah di wilayah yang menjadi tujuan jalur rempah mengalir ke permukaan kehidupan; itu sejarah kekejaman, keserakahan, babak lain sejarah yang lebih mengerikan setelahnya.  (Ham Achmada, lahir di Ternate. Aktif sebagai Pengurus Bidang Kelembagaan KWIM  Pusat Makassar).

Bahan Bacaan

Amal, Adnan. 2010. Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta: Komunitas Bambu.

Marcos, Subcomandante. 2005. Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan. Yogyakarta: Resist Book. Nachrawy. 1997. Ternate membentuk Wawasan Kebangsaan Terpadu. Makalah. Telah diterbitkan dalam Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Depdikbud RI.

BAGIKAN
Berita sebelumyaWarga Kompleks Unhas Baraya Sampaikan Aspirasi ke DPRD Makassar
Berita berikutnyaSekwan akan Layangkan Teguran ke 23 Legislator Makassar
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here