Rohani dan penulis

Sabtu (3/4/2021) saya bersama keluarga ke Sengkang. Hajatnya, menghadiri acara pernikahan keluarga istri di ibu kota Kabupaten Wajo itu yang berlangsung Ahad (4/4/2021) siang. Seperti biasa, Kijang LGX produksi tahun 2003 saya dikerahkan jika ada perjalanan jauh dan berpenumpang di atas 5 orang. 
Seperti biasa, Hery, putra pertama saya, selalu duduk di belakang kemudi. Saya dan istri biasa juga menjadi pengemudi  jika Hery membawa mobilnya sendiri, Honda Mobilio putih. Tetapi kali ini, mobilnya lagi ada yang “order”, dicarter entah berapa puluh hari oleh konsumennya.
Pukul 11.00 mobil sudah meninggalkan pinggir jalan di depan Polda Sulsel, tempat kami harus menjemput penumpang terakhir satu-satunya, kemanakan istri yang memang kerap selalu ikut jika ada perjalanan karena hajat tertentu seperti ini. Setelah itu, mobil tanpa henti hingga melewati Parepare. Satu truk bak terbuka menarik perhatian kami mampir di sekitar Lawawoi, beberapa ratus meter dari warung tempat orang biasa singgah makan “cawiwi” (sejenis itik hutan yang bertubuh lebih kecil. Biasanya hidup di danau/perairan). Ada  buah berduri bertumpuk di bak belakang truk yang konon baru datang dari Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi Barat.
Saya, istri, dan Hery kompak pergi menawar. Akhirnya diperoleh 5 biji Rp 50.000. Tetapi ukurannya kecil. Ada juga yang agak besar dan tentu saja harganya juga “besar”. Kami memutuskan mengambil 10. Ditampung dalam dua tas kresek warna hitam, “penumpang baru” yang baunya menyengat ini menggeser sebuah tas besar di belakang jejeran kursi ketiga yang kebetulan diisi oleh dua cucu saya, Alivia dan Tita bersama  Mamad dan Yanti, ayah-ibunya.  
“Nanti cari pohon rindang di tepi jalan baru kita singgah dan menyikat durian,” kata saya.  
Semua durian itu tersebut sudah terbuka bagian bawahnya. Jadi tinggal ditarik ke arah berlawanan untuk membukanya. Kami sengaja minta dibukakan. Seorang ibu yang mengenakan kaos tangan tebal maju ke dekat bak truk setelah mengalihkan pangkuan anaknya ke pria yang ternyata suaminya. Dia pun dengan lancar membuka seluruh durian yang kami pesan. Tangan kirinya yang berkaos memagut buah berduri itu, tangan kanannya beraksi dengan parang kecil, mencungkil bagian ujung buah yang selalu menggiurkan itu.  
Tiba di Stasion Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) kami berhenti. Agendanya, mampir salat dan menikmati makan siang yang sudah disiapkan dari rumah. Nasi itu dibungkus dengan kertas dan lauknya adalah ayam palekko yang tersimpan di plastik khusus.
Kebetulan di samping kanan masjid kecil di SPBU Jenderal Sudirman di pertigaan ke Kota Rappang dan ke Kota Pangkajene milik mendiang Sudirman Juddawi itu, ada dua tempat duduk, berupa “bale-bale” kayu. Di bagian dalam masih kosong, sementara di bagian luar sudah diisi oleh seorang perempuan tua yang tampak sangat  pulas. 
Perempuan yang diperkirakan berusia 70-an tahun itu, tidur pistol. Kami membiarkan saja dia tidur. Di belakang punggungnya terbaring dua bungkusan lumayan juga besar. Saya tahu  isinya. Mungkin juga pakaian atau entahlah.
Usai salat saya kembali ke tempat istri, anak, menantu, ponakan, dan cucu menikmati makan siang. Perempuan tua itu sudah bangun dan duduk di pinggir “bale-bale” yang dia tempati berbaring. Istri saya memberinya sebungkus nasi yang masih ada disertai beberapa sendok ayam masakan “palekko” yang baru sebagian kecil berkurang.
“Jangan ki lupa makan nasi ta,” pesan istri saya dalam bahasa Bugis yang tentu saja tidak terlalu sulit saya pahami. 
Saya pun merogoh kocek dan memberi perempuan yang mengaku berasal dari Belopa Kabupaten Luwu itu sejumlah uang. Saya kemudian kembali ke tempat duduk di bagian dalam dan menghadapi nasi bungkus yang tersedia untuk hidangan makan siang. Ya, ditemani ayam “palekko” itu tadi. 
Usai makan, saya pun bergabung dengan istri yang ternyata masih asyik berbincang-bincang dalam bahasa Bugis dengan perempuan yang kemudian saya tahu bernama Rohani itu. Istri mungkin bersuamikan lelaki yang wartawan, sehingga “tertular” juga gaya bertanya seorang jurnalis. Aksi bertanyanya pun berentetan bagaikan “kereta api”. Jawaban pertanyaan tersebut jelas merupakan “makanan empuk” saya yang sedang mengumpulkan informasi mengenai perempuan ini.
Rohani mengatakan, hingga usianya yang sudah renta sekarang ini, pernah tujuh kali menjalani ikatan pernikahan. Dari rentetan pernikahannya itu, dia dikaruniai sepuluh orang anak. Enam orang di antaranya sudah meninggal dunia. 
“Di mana semua anak ta yang masih hidup,” tanya istri saya.

“Sudah menikah dan terpencar di beberapa daerah,” jawabnya.
“Jadi di sini, di mana ki tinggal?,” usut istri saya lagi.
“Di sini. Sekali-sekali saya di sana,” katanya sembari menunjuk suatu tempat di seberang SPBU.
“Apa yang dikerjakan di situ?,” cecar istri saya lagi.
“Ya, tidak ada. Duduk-duduk saja,” Rohani menjawab.
“Bagaimana makanannya di mana didapat?,” istri saya tak berhenti juga rasa ingin tahunya.
“Ya ada-ada saja yang kasih. Seperti sekarang ini,” ungkapnya.
“Ya, jangan ki lupa makan nasi ta. Nanti basi karena sejak tadi pagi dibungkus,” saran istri lagi.
“Mengapa banyak kali ki menikah?,” tiba-tiba mulut saya “liar” bertanya.
“Ya, karena banyak yang suka ka,” jawab Rohani sambil terkekeh kecil.
“Wah.. ternyata perempuan tua ini ketika masih muda, termasuk “kembang”, desa juga rupanya,” saya menggumam.
“Jadi di mana semua mantan suami ta,” sambung istri saya.
“Ada, yang terakhir sudah menikah lagi. Tinggal di Sidrap dan menjadi tukang batu,” dalam bahasa Bugis Rohani menjawab pertanyaan istri.
“Jalan ma dulu,” kata istri setelah saya gamit karena merasa informasi untuk menulis kisah kecil ini sudah cukup
“Iye, salama ki,” (Iya, selamat),” balasnya dan kami pun melangkah menuju mobil. Melanjutkan perjalanan menuju Kota Sengkang dibarengi sengatan bau “penumpang baru” yang tersimpan di bagian paling belakang “kereta” yang kami tumpangi.
Satu jam kemudian kami tiba di tujuan dan langsung memilih penginapan di dekat tugu pertigaan kota. Malam hari, “penumpang baru” yang naik di Lawawoi Sidrap, kami “selesaikan secara adat” di teras penginapan. (MDA)

BAGIKAN
Berita sebelumyaPertengahan Ramadan Kemenag Bahas Manasik Haji di Masa Pandemi
Berita berikutnyaDany Pomanto Harapkan Imam Mampu Membuka Hati Makmun
Wartawan kriminal dan politik harian Pedoman Rakyat Ujungpandang dan sejumlah harian di Kota Daeng Makassar, seperti Ujungpandang Ekspres (grup Fajar) dan Tempo. Saat ini menjadi pemimpin umum, pemimpin perusahaan, dan penanggungjawab majalah Inspirasi dan Website Inspirasimakassar.com. Sarjana pertanian yang juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIP) Al-Gazali--kini Universitas Islam Makassar ini menyelesaikan pendidikan SD di tanah kelahirannya Siri Sori Islam Saparua, SMP Negeri 2 Ambon, dan SPP-SPMA Negeri Ambon. Aktif di sejumlah organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di organisasi kedaerahan, bungsu dari tujuh bersaudara pasangan H Yahya Pattisahusiwa dan Hj.Saadia Tuhepaly ini beristrikan Ama Kaplale,SPT,MM dan memiliki dua orang anak masing-masing Syasa Diarani Yahma Pattisahusiwa dan Muh Fauzan Fahriyah Pattisahusiwa. Pernah diamanahkan sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Siri Sori Islam (IPPSSI) Makassar. Kini, Humas Kerukunan Warga Islam Maluku (KWIM) Pusat Makassar dan Wakil Sekjen Kerukunan Keluarga Maluku (KKM) Makassar.

TINGGALKAN PESAN

Please enter your comment!
Please enter your name here