Di masa lalu, orang tua kita bercerita tentang keledai yang “gila” di hormati, hanya gara gara pernah ada satu peristiwa sang keledai itu untuk membawa patung di atas punggungnya. Tiba tiba saja ia terpana dan merasa heran sekaligus bertanya tanya, mengapa ada orang di setiap jalan yang dilewatinya duduk seraya bersujud kepadanya. Hingga sampai di tujuan patung diturunkan. Dia kembali ke kandangnya, merenung dan mencari tahu, gerangan apa yang membuat orang “menyembah” kepadanya. Karena dia tidak mau repot berfikir, sang keledai berkesimpulan bahwa dirinya layak untuk dihormati. Maka, suatu ketika ia mulai sombong dan pongah — dia mulai merasa “patut” dihormati — seketika ada iring-iringan hajatan dengan banyak orang. Lalu dia keluar dan memasang badan di tengah jalan. Lantas orang pada memukulinya, sebabnya, tentu saja, orang jadi terhalang. Dia bersedih dan kembali bertanya, kenapa dia tidak dihormati serta disembah lagi?
Tahukah, pembaca, bukannya keledai yang orang sembah ketika dia membawa patung. Justru patungnya itu yang disembah oleh orang orang yang melihatnya. Patung itu adalah sesembahan di kampung yang dilewatinya. Namun yang namanya keledai, tidak berfikir atau mungkin tidak tahu apa yang dibawahnya, sehingga seakan dia yang mendapat kehormatan itu.
Dari kisah ini, terdeskripsikan bahwa kehormatan ataupun penghargaan yang diterima boleh jadi bukan atas prestasi ataupun prestise yang kita miliki secara personal, namun karena adanya jabatan yang melekat pada diri yang bersifat sementara.
Kalau jabatan itu hilang atau telah usai, maka orang tidak lagi menghormati kita. Ketika kekuasaan itu masih di sandang, seolah kita bagai gula, yang dikerubungi semut untuk ikut merasakan manisnya. Setelah kekuasaan itu berakhir — bahkan jelang berakhir sudah mulai ada yang muqndur pelan pelan, sirna pula orang orang yang hanya punya kepentingan untuk bersama menikmati manisnya kekuasaan.
Pelajaran yang dapat ditarik bahwa kekuatan diri dengan sikap yang baik, santun, sopan dalam bertutur, bijak dalam menilai serta adil dalam memutuskan hal, lebih abadi dan memberi manfaat kepada banyak orang yang berimbas pada kharisma diri.
Siapapun kita, tanpa ada “embel-embel” status yang disandangkan. Kecerdasan dan kearifan itu sangat penting dan menentukan kualitas penghargaan itu kepada seseorang. Namun, jikalau orang itu hormat dan bahkan nyaris menyembah karena adanya jabatan, kekuasaan, atau harta yang kita punyai, ataupun garis keturunan berdarah “biru” yang dimiliki, ketika itu pula semua berakhir atau hilang, tanpa kecerdasan dan kearifan diri dalam bersosialisasi dengan masyarakat, pada ujungnya, sifatnya sementara oleh sebab adanya emblem itu.
Sangatlah berbeda, kehormatan yang diperoleh atas dasar kecerdasan dan kearifan lebih bersifat langgeng dan bertahan lama, bahkan sekalipun kita sudah mati, anak dan cucu kita akan mendapatkan cerita atau kisah kebaikan yang kita tanam. Misalnya, bapak mu atau kakeknya dulu itu orang baik, orang yang suka menolong dan sangatlah bijaksana kala dia jadi penguasa.
Betapa bahagia dan indah terasa oleh sang anak atau cucu. Terinspirasi dengan apa yang dulu bapak atau kakeknya lakukan sehingga ia sadar dan menjadi keniscayaan untuk berbuat seperti sang nenek atau bapak nya. Inilah disebut jariyah kehidupan. Amal jariyah berimplikasi pada ruang dan waktu tak berbatas.
Bijak Kini
Mungkinkah masih ada orang seperti itu, ataukah kini era keledai yang “gila” hormat itu, ataukah dalam versi berbeda mengayuh kearifan itu masih bersandar pada tiang kokoh untuk selalu dapat bertahan?
Rentetan pertanyaan itu merupakan kewajaran, ditengah “geliat” pengaruh kuasa, pengaruh harta, pengaruh jabatan dalam tata nilai peradaban kini. Di mana kita tidak lagi berada pada ruang yang sempit, hanya di wilayah di mana kita jalani hidup keseharian.
Sementara sekitar kita tidak berdampak. Di era tanpa batas ruang dan waktu sekarang, tidak ada lagi hal tersembunyi. Semua jadi “telanjang” dan dilihat banyak orang seantero bumi atas apa yang mereka bisa lihat.
Mereka punya persepsi dan cara menilai apa yang kita pertunjukkan atau kita lakukan. Norma kepemilikan kata dan interpretasi tidak dapat dikendalikan apatahlagi di bungkam. Kebebasan berekspresi dalam tindak maupun narasi secara bebas di bahasakan menurut jalan pikirannya. Etika hampir hilang atau mungkin sudah tidak ada.
Tutur kata maupun serangkaian kalimat “mengalir” begitu saja mengikuti arus yang entah di mana dia bermuara. Tak akan pernah sepi dari penafsiran dari mereka yang melihat dan membacanya. Sirkulasi bahasa nyaris tanpa skenario. Semua serba tiba masa tiba akal, menuturkan apa saja menurutnya sudah pantas dikemukakannya. Terserah apa pun orang lain menilai dan mengukurnya.
Era internet dan digitalisasi menguasai semua jalan pikiran. Akal makin di batasi oleh apa kata netizen. Rakyat telah berubah makna jadi netizen atau followers. Yang tentu saja sangat nihil peradaban yang selama ini kita pahami. Oleh sebab dunia maya tidak memiliki peradaban, peradaban yang terbentuk dengan sendirinya sesuai seleranya. Serba terbuka, serba mudah dan serba serbi lainnya.
Itulah bijak kini yang terdeskripsikan oleh wilayah teknologi yang berkembang pesat dan entah akan berakhir. Artinya, teknologi adalah peradaban dan kenisbian budaya dan adat terserap dalam digitalisasi pada semua aspek kehidupan. Sehingga, robot robot hidup dalam kehidupan insani yang tercipta.
Smart atau Cerdas
Saat ini kata smart menjadi sebuah keniscayaan pengembangan kota. Digitalisasi adalah pengejawantahan dari kata Smart. Dalam penafsiran nilai, pengembangan dan pembangunan yang smart adalah keharusan untuk mempermudah dan memudahkan semua hal dalam pengelolaan dan penyelenggaran keseharian kehidupan.
Dengan berbagai dalih ‘pembenaran akan pentingnya menerapkan smart dalam semua presisi kehidupan. Sangatlah berbeda dengan pemahaman kita dengan kecerdasan maknawi. Dalam keberadaan itu selalu dibarengi dengan kearifan dalam mengukur semua sendi kehidupan. Bahwa tidak ada satupun keputusan yang diambil dan ditempuh dalam menjalankannya dibarengi dengan pengukuran akan dampak baik dan nilai buruk yang mungkin menyertainya.
Selalu ada ruang diskusi untuk melihat dari berbagai cara pandang akan faedahnya serta kemungkinan yang ditimbulkannya. Anugerah kecerdasan hakiki selalu mengedepankan akal secara fungsional dan struktural.
Kecerdasan di bungkus dengan norma ruhaniyah yang menyadari eksistensi keberadaannya serta pertanggungjawaban yang akan dipertanyakan di kemudian hari. Kecerdasan adalah gambaran kebijakan tentang arti kehadirannya dan adanya di persada bumi serta adanya kehidupan lain yang abadi di ruang dan waktu yang berbeda.
Sementara Smart hanya ada dan berlaku pada ruang yang terbatas, yakni di dunia. Seiring dengan perkembangan nilai peradaban yang sementara, sementara berikutnya akan berbeda dan memiliki nilainya sendiri. Saatnya untuk kita merenung, berfikir, menilai dan memutuskan siapa diri kita dan dengan cara nilai berfikir untuk kita manifestasikan dalam kehidupan dunia yang memberi dampak baik dapat menjadi jariyah hidup di masa depan yang lebih kekal. (Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan)